KRITIK ATAS PROGRAM SEKOLAH BERTARAF INTERNASIONAL (SBI) DAN USULAN PERBAIKANNYA

December 21, 2010

Tujuan yang tertuang di dalam pembukaan UUD 1945 ‘untuk mencerdaskan kehidupan bangsa’ patut dipertanyakan. Pasalnya, kebijakan pemerintah di bidang pendidikan tidak menggambarkan tujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa tersebut. Yang nampak dan menonjol dari kebijakan pendidikan yang dibuat pemerintah adalah hanya mencerdaskan kehidupan sebagian bangsa atau rakyat. Lebih tepat dikatakan kebijakan pendidikan hanya untuk orang mampu dan berduit.

Jenis sekolah yang sangat populer dan paling diburu para orang tua (yang mampu secara ekonomi) untuk menyekolahkan anak-anak mereka adalah SBI (Sekolah Berstandar Internasional) dan minimal RSBI (Rintisan Sekolah Berstandar Internasional).

SBI dan RSBI merupakan amanat Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) Nomor 20 Tahun 2003 dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Pada pasal 61 ayat 1 disebutkan bahwa pemerintah bersama-sama pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu sekolah pada jenjang pendidikan dasar dan jenjang pendidikan menengah untuk dikembangkan menjadi sekolah bertaraf internasional.

Para orang tua pastinya ingin yang terbaik untuk anak-anak mereka, termasuk dalam memilih sekolah. Tidak salah dan mengerankan apabila SBI dan RSBI akhirnya menjadi rebutan para orang tua. SBI dan RSBI bagaikan magnet yang menarik para orang tua. Buktinya di kota Banjarmasin sendiri pelamar untuk dua RSBI yaitu SMA Negeri 7 dan SMA Negeri 1 membludak.

Pertama, SBI atau RSBI, apa pun namanya itu tidak usah dulu dilihat secara skeptis. Tujuannya utamanya pastilah sangat mulia, yaitu untuk meningkatkan mutu, meningkatkan daya saing, dan menyiapkan anak-anak dalam menghadapi perubahan abad ke 21. Jika pelaksanaannya terjadi seperti yang kita alami sekarang bukan berarti niat di muka yang salah, tetapi pengelolaannya yang belum baik. Pengelolaan yang belum baik ini bisa disebabkan oleh kapasitas dan mutu pengelolanya (pengambil kebijakan dan pembina pada tingkat kementerian pendidikan, dinas-dinas pendidikan, para kepala sekolah, dan tenaga pendidik) belum memadai/masih rendah. Namun kemampuan itu bisa ditingkatkan jika mau belajar (eager to learn) tinggi.

Sejak reformasi (lebih dari sepuluh tahun terakhir) persoalan mutu/kualitas kepala sekolah dan guru paling sering diabaikan. Padahal dari banyak studi di banyak negara, gabungan kemampuan kepala sekolah dan guru bisa menentukan keberhasilan pembelajaran anak mencapai 70 persen. Mutu guru dan kepala sekolah sejak 15 tahun terakhir grafiknya terlihat menurun, hal diindikasikan dari data ujian PISA dan TIMSS. Jika kita analisis secara detail, laporan teknis dari PISA dan TIMSS, maka akan kita akan sampai pada kesimpulan bahwa mutu pembelajaran yang dilakukan guru-guru dibalik ruang kelas tertutup itu, yang selama ini tidak pernah dipantau (dilakukan supervisi dan dampingan) oleh kepala sekolah dan pengawas, masih sangat rendah dan sangat memprihatinkan. Guru2 hanya mengajarkan pengetahuan/kemampuan deklaratif atau rote-learning kepada para siswa kita. Pembelajaran yang membutuhkan complex thinking dikesampingkan. Data TIMSS dan PISA menunjukkan 70 persen anak-anak Indonesia pada bidang sains dan matematika hanya mampu menjawab soal-soal yang mengukur kemampuan knowledge dan comprehension; dan hanya 20 persen yang hanya mampu menjawab soal-soal yang mengukur kemampuan aplication, dan lebih sedikit lagi anak-anak kita yang bisa memecahkan soal-soal yang menuntut kemampuan analitik dan problem solving. Bandingkan anak-anak Thailand, 70 persen dari mereka sudah mampu menjawab soal-soal yang menuntut kemampuan application, analitic, dan problem solving.
Jadi jika kita mengacu pada kurikulum negara OECD bukan berarti hanya penggunaan bahasa Inggris dalam pembelajaran, tetapi yang lebih penting adalah bagaimana kita mengolah praktek pembelajaran yang mampu meningkatkan kemampuan berpikir (thinking skills) dan creativitas, communication skills, collaboraton, dan kemampuan mentransformasikannnya ke dalam kehidupan nyata (authentic teaching and assessment). Di sekolah-sekolah yang menggunakan kurikulum nasional (ktsp) kemampuan di muka tidak diolah secara maksimal karena ujian nasional kita sangat tidak sentisif terhadap proses pembelajaran di kelas. Guru-guru hanya mangajar sesuai dengan tuntutan UN yang sudah sangat minimal itu. Jika keadaan ini dibiarkan, bangsa ini akan mengalami degradasi pada banyak sektor kehidupan, ekonomi, demokrasi, sosial-budaya, keagamaan. Tanda-tanda kearah itu sudah nampak didepan mata. Masyarakat kita kini tumbuh menjadi bangsa yang sudah sangat korup (mereka yang korup itu sudah tidak yakin lagi bahwa kehidupan setiap individu sudah dijamin oleh Tuhan Yanga Maha Esa rejekinya), masyarakat menjadi sangat pemarah dan anarkis (tawuran bulliying, perampokan, penipuan, pencurian sudah menjadi pemandangan kesaharian kita), kemiskinan dan pengangguran semakin melonjak, budaya sopan santun dan mendahulukan kepentingan umum sudah hampir hilang. Lihatlah bagaimana corak lalu lintas kita, sembraut, mau menang sendiri, dst.

Kedua, ita selaku praktisi pendidikan baik itu kepala sekolah, guru, manajemen sekolah dan pemerintahan ikut bertanggung jawab memproduksi kualitas masyarakat seperti yang saya gambarkan di muka. Guru dan dosen harus diminta pertanggung jawabannya jika meluluskan anak yang kualitasnya rendah sehingga mereka mengalami kesulitan mencari pekerjaan dan membangun kehidupan yang lebih baik ke depan. Dosen IKIP/FKIP (Pendidikan Guru) harus bertanggung jawab bila meluluskan guru-guru yang bermutu rendah dan tidak layak mengajar. IKIP harusnya merekrut dan mendidik calon guru dengan kualitas tinggi. Itu yang dilakukan oleh negara-negara OECD, karenanya kita tidak usah malu belajar dari mereka. Lihat kualitas pembelajaran, penilaian yang sudah mereka kerjakan dan terus kembangkan. Datanglah ke sekolah Ghandi School, Tiara Bangsa, Global School, dan sekolah lain yang sudah menerapkan kurikulum IB atau Cambridge IGCSE dan A Level. Anda akan banyak belajar dari sana. Jangan bandingkan biayanya, tapi lihatlah bagaimana mereka mengelola pembelajaran, penilaian, membangun interaksi guru-siswa (personalized learning), membangun rasa percaya diri pada siswa, kemampuan risk-taking anak-anak, toleransi, respect, dan lainnya. Sekolah-sekolah negeri dan swasta kita meskipun sudah diberi lebel RSBI atau SBI belum memperhatikan kualitas semacam itu. Kita harus mau belajar jika tidak mau dikutuk oleh anak2 murid kita nantinya, karena kita sebagai guru telah gagal menyiapkan mereka untuk bisa hidup di abad ke 21 ini. Ungkapan klasik China, menyebutkan : “Jangan didik anak2 sekarang seperti kamu dididik dahulu, karena mereka adalah milik generasi mendatang” yang problem dan tantangannya sudah sangat jauh berbeda dari yang kita hadapi/alami sekarang.

Ketiga , ada satu poin menarik, menurut pengalaman beberapa Alumni SBI, Beasiswa dianggarkan di APBS sedikit sekali, dan hanya satu-dua orang yang menerima. itupun hanya bersifat bantuan pada event tertentu. sekolah yang bertaraf internasional hanya menitikberatkan pengembangan pada sarana-prasarana, kemudian pada item-item kebendaan. memang tidak salah, tapi tidak substantif dan cenderung komersialistik. Konsep orang tua asuh boleh dikatakan tidak berjalan. Beasiswa, kalaupun ada, berasal dari pemerintah. itupun tidak menjangkau siswa kurang mampu di sekolah bertaraf internasional karena lingkupnya hanya berada di wilayah kota. Kalau misalnya ada “gap” dengan basis titel “unggulan” dan “non-unggulan”, itu bisa. Sistem persaingan semakin kapitalistik; semakin mengarah pada “cut-throat competition”, “lassez faire lassez aller”. Peran pemerintah kian kecil, sekolah –dengan basis dana yang kuat atas dasar “bertaraf internasional”, semakin berjaya. kita tak tahu nasib sekolah-sekolah kecil. Dana APBS di sekolah “bertaraf internasional” tadi hampir 1 Milyar per tahun. Mungkin ada sekolah lain yang tidak terekspos karena minim sumber daya. pengembangan penting, tapi pemerataan juga tak kalah penting. dua variabel ini harus berjalan seirama.

Previous
Next Post »

1 comment

Harap jangan berkomentar yang bersifat spam, yang berbau sara, kata-kata kotor, atau yang bersifat nada keras atau komentar Anda akan kami HAPUS.