Resource :
PENGKAJIAN KESEJAHTERAAN DAN PERLINDUNGAN ANAK
(STUDI TENTANG KEKERASAN TERHADAP ANAK DI LINGKUNGAN PONDOK PESANTREN MODERN PROVINSI SUMATERA BARAT)
Oleh:
Tim Peneliti
Drs. Wahyu Pramono, MSi Prof. Dra. Sjahridal Dahlan, MS Prof. Dr. Hj. Siti Salmah Indraddin, S.Sos, MSi
PUSAT STUDI WANITA (PSW) UNIVERSITAS ANDALAS
Bekerjasama dengan Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Propinsi Sumatera Barat Tahun 2009
Untuk merumuskan upaya-upaya mencegah dan mengatasi tindak kekerasan terhadap anak, diperlukan pengetahui mengenai faktor dan kondisi yang mendorong terjadinya tindak kekerasan tersebut. Analisa berikut ini akan menggambarkan hal tersebut berdasarkan data yang diperoleh dari kuesioner dan wawancara dengan para informan.
PENGKAJIAN KESEJAHTERAAN DAN PERLINDUNGAN ANAK
(STUDI TENTANG KEKERASAN TERHADAP ANAK DI LINGKUNGAN PONDOK PESANTREN MODERN PROVINSI SUMATERA BARAT)
Oleh:
Tim Peneliti
Drs. Wahyu Pramono, MSi Prof. Dra. Sjahridal Dahlan, MS Prof. Dr. Hj. Siti Salmah Indraddin, S.Sos, MSi
PUSAT STUDI WANITA (PSW) UNIVERSITAS ANDALAS
Bekerjasama dengan Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Propinsi Sumatera Barat Tahun 2009
Untuk merumuskan upaya-upaya mencegah dan mengatasi tindak kekerasan terhadap anak, diperlukan pengetahui mengenai faktor dan kondisi yang mendorong terjadinya tindak kekerasan tersebut. Analisa berikut ini akan menggambarkan hal tersebut berdasarkan data yang diperoleh dari kuesioner dan wawancara dengan para informan.
4.1. Faktor Penyebab Tindak Kekerasan terhadap Anak.
Penyebab terjadinya tindak kekerasan terhadap anak dapat dilihat dari faktor individual dan faktor sistem. Faktor individual bersumber dari individu kurang mampu menguasai emosi, kurang pengetahuan terhadap hala-hal yang berkaitan dengan peraturan mengenai tindak kekerasan (undang-undang perlindungan anak), persepsi terhadap pemberian hukuman dan interpretasi terhadap hukuman fisik. Sementara dari faktor sistem bersumber pada sistem pengawasan/kontrol terhadap perilaku anak.
a. Persepsi terhadap Pemberian Hukuman.
Penyebab terjadinya tindak kekerasan terhadap anak dapat dilihat dari faktor individual dan faktor sistem. Faktor individual bersumber dari individu kurang mampu menguasai emosi, kurang pengetahuan terhadap hala-hal yang berkaitan dengan peraturan mengenai tindak kekerasan (undang-undang perlindungan anak), persepsi terhadap pemberian hukuman dan interpretasi terhadap hukuman fisik. Sementara dari faktor sistem bersumber pada sistem pengawasan/kontrol terhadap perilaku anak.
a. Persepsi terhadap Pemberian Hukuman.
Pandangan para pendidik terhadap pemberian hukuman yang mendidik siswa mempunyai kaitan terjadinya tindak kekerasan terhadap anak. Jenis hukuman yang akan diberikan dapat menjadi sumber terjadinya tindak kekerasan. Hukuman fisik misalnya menjadi salah satu sumber terjadinya tindak kekerasan di sekolah. Gambaran data yang diperoleh dari siswa memperlihatkan bahwa sebagian besar siswa pernah mendapatkan hukuman karena melakukan kesalahan yang bervariasi, hanya sebagian kecil siswa yang mengaku belum pernah mendapatkan hukuman.
Gambaran tersebut memberikan makna bahwa hukuman telah menjadi bagian dari metode pendidikan yang diterapkan di pondok pesantren. Para pendidik menyadari bahwa hukuman perlu diberikan karena pada dasarnya bertujuan untuk menunjukkan mana perbuatan yang benar dan mana yang salah. Seperti dikemukakan oleh Kepala Sekolah SMA Nurul Ikhlas dengan memberikan hukuman kepada santri yang bersalah maka kita mengharapkan mereka mengetahui mana perbuatan yang benar dan mana yang salah, sehingga untuk kedepannya mereka dapat berubah kearah yang lebih baik. Selain itu, pemberian hukuman dianggap sebagai cara untuk mencapai salah satu misi pondok pesantren Nurul Ikhlas yaitu untuk mempersiapkan santri yang berakhlak dan berbudi pekerti luhur. Disamping itu hukuman yang diberikan membuat anak tidak akan mengulangi kesalahan yang sama di masa yang akan datang, anak diharapkan selalu berfikir sebelum bertindak, anak diharapkan bisa berubah menjadi pribadi yang lebih baik dari sebelumnya, dan menimbulkan efek jera yang bisa dirasakan oleh anak.
Cara-cara memberikan hukuman yang mendidik terhadap murid yang melanggar peraturan adalah dengan memberikan teguran pada santri yang melanggar peraturan, memberikan peringatan dan nasehat, membuat surat perjanjian, memanggil orang tua santri ke sekolah, dan memulangkan santri kepada orang tua. Pemberian hukuman sampai saat ini diberikan pada anak yang benar-benar melakukan kesalahan yang berat dan ada unsur kelalaian. Seperti apabila berkelahi para santri harus diselesaikan masalahnya dengan teman tersebut dan selanjutnya ketika mereka menyadari kesalahannya maka mereka akan di hukum berdasarkan kesalahannya. Hukuman yang diberikan diantaranya membersihkan pekarangan pondok, atau push up, berlari keliling lapangan, terkadang menghafal alquran, dan hukuman lainnya sesuai dengan tingkat kesalahan. Hukuman atas kelalaian, malas, atau tidak membuat tugas atau tidak memakai seragam terkadang dihukum langsung oleh guru ketika sedang mengajar, seperti diharuskan untuk menghafal alquran atau di suruh untuk membersihkan ruangan, dan lain-lain.
Di Pondok Pesantren Muhammad Natsir membedakan hukuman berdasarkan bidang kegiatanya yaitu hukuman untuk pelanggaran yang berkaitan dengan pendidikan sekolah dan pendidikan keagamaan. Terdapat tiga opsi hukuman yaitu hukuman denda, membersihkan pekarangan sekolah dan membersihkan kamar mandi atau WC. Jika mereka memilih hukuman membayar denda dan lalai atau terlambat membayar, maka denda akan dinaikan. Begitu juga dengan hukuman yang lain kalau sudah diberi hukuman masih melakukan kesalahan yang sama sampai batas 3 kali maka akan ada pemanggilan.
Hukuman yang berkaitan dengan pendidikan agama misalnya shalat, hukuman yang diberikan juga berupa denda, dengan besar denda dihitung per rakaat tidak shalat dikenai denda Rp. 1000. Kalau denda tersebut masih tidak membuat siswa menetapi peraturan, maka tim pembina dan seniornya akan memberikan hukuman tambahan seperti disuruh membersihkan lingkungan mesjid. Disamping itu siswa yang melanggar dipermalukan di depan teman-temannya agar mereka tidak mengulangi lagi dengan cara dimandikan di depan teman-temanya tersebut. Hukuman tersebut dilaksanakan oleh senior mereka. Apabila hukuman tersebut masih belum membuat siswa jera maka para senior akan melaporkan kepada pembina jika pembina tidak dapat menyelesaikan juga baru diserahkan kepada pimpinan untuk mengambil kebijaksanaan.
Dalam arti yang lebih luas hukuman fisik sebenarnya dapat diartikan sebagai hukuman yang memerlukan kekuatan fisik untuk menjalaninya oleh karena itu push up, membersihkan WC, membersihkan ruangan, berlari keliling lapangan dapat dikategorikan dalam bentuk hukuman fisik tersebut.
Gambaran tersebut memberikan arti bahwa pada dasarnya cara-cara memberikan hukuman yang persuasif lebih dikedepankan oleh para pendidik di pondok pesantren. Namun demikian hukuman fisik ternyata oleh sebagian pendidik masih diperlukan, meskipun secara formal tidak dicantumkan dalam peraturan. Hal ini terlihat dari data yang diperoleh dari siswa yang memperlihatkan hukuman fisik memang masih diberikan pada siswa. Bentuk hukuman fisik yang paling banyak diberikan kepada siswa adalah dengan menjewer telinganya.
Standar yang digunakan untuk menentukan hukuman fisik adalah apabila sudah berkali-kali dinasehati tidak mau berubah atau tidak mengindahkanya. Hukuman seperti ini biasanya diberikan pada santri yang melakukan kesalahan yang sama padahal sebelumnya sudah dinasehati dan dikasih peringatan sebanyak 3 kali. Meskipun demikian diantara para pendidik juga mempunyai perbedaan pandangan mengenai pemberian hukuman fisik tersebut.
Para pendidik, komite sekolah, orangtua siswa, dan para pengurus sekolah maupun pengurus asrama berbeda-beda pandangan mengenai hukuman fisik terhadap siswa. Seperti dikemukakan oleh Zulfahmi pengurus asrama dan Yarmi S.Pd Kepala Sekolah Pondok Pesantren Modern Nurul Ikhlas bahwa hukuman fisik masih diperlukan tetapi dalam batas yang sewajarnya, artinya hukuman tersebut tidak sampai membuat santri merasa tersakiti ataupun tersiksa. Mereka menyadari bahwa hukuman fisik yang diberikan akan mempunyai dampak bagi anak muridnya oleh karena itu pemberian hukuman fisik harus dilakukan secara berhati-hati jangan sampai menyakiti fisik maupun mental siswa. Sementara Kepala Sekolah SMP Sabbihisma, Yuhendri, mengatakan bahwa hukuman fisik terkadang masih di butuhkan, tetapi hukuman fisik tidak sampai memukul, hukuman fisik yang di maksud hanya sekedar mencubit.
Pandangan kepala sekolah tersebut sejalan dengan H. Zukifli, pengurus pondok pesantren Sabbihisma, yang juga berpendapat bahwa hukuman fisik untuk mendidik terkadang masih perlu ditegakkan, mengingat tidak semua murid dapat mengerti bila dididik dengan kelembutan. Para siswa terkadang berasal dari lingkungan yang sudah keras sehingga tidak dapat mencerna bahasa-bahasa yang lembut ketika dinasehati.
Para orangtua siswa dan guru berbeda pandangan bahwa hukuman fisik tidak diperlukan karena mereka mengetahui akibat yang ditimbulkan oleh hukuman fisik tersebut. Orang tua tidak menginginkan anaknya diberikan hukuman fisik. Hukuman fisik tidak boleh diberikan sekalipun dengan alasan untuk mendidik.
Pernyataan yang cukup menarik dikemukakan oleh orang tua siswa Pondok Pesantren Muhammad Natsir, Ibu Yetti, yang mengatakan bahwa pokoknya sekarang ini yang namanya kekerasan tidak boleh diterapkan lagi, mengajar anak harus dengan lemah lembut dan kasih sayang. Para siswa sudah jauh-jauh datang untuk bersekolah di pondok, kalau guru melakukan kekerasan kepada siswa, maka kepada siapa lagi siswa akan mengadu. Sedangkan di sekolah yang menjadi orang tua siswa adalah guru-guru mereka. Jika siswa dikerasi mereka akan bertambah nakal, sementara mungkin di rumah anak-anak sudah menghadapi banyak masalah, kalau di pondok diberi kekerasan juga maka anak bisa menjadi tambah panik. Para orang tua tahu bahwa dampak terhadap pemberian hukuman fisik terhadap anak akan sangat tidak baik, trauma akan bisa terjadi lama oleh karena itu pemberian hukuman fisik sedapat mungkin dihindarkan.
Pandangan yang masih menganggap pemberian hukuman fisik masih dianggap perlu untuk mendisiplinkan siswa tersebut nampaknya menjadi faktor penyebab terjadinya kekerasan terhadap anak. Kemampuan yang kurang memadai dan kesabaran para guru dalam menjalankan proses belajar dalam menghadapi perilaku anak yang mempunyai latar belakang sosial budaya yang berbeda-beda mendorong para guru sering menggunakan cara-cara kekerasan untuk mendidik anak. Peringatan dan nasehat yang sudah berkali-kali diberikan tetapi tidak diindahkan membuat para guru mengambil jalan pintas dengan menjewer atau mencubit anak didik agar nasehatnya dididengar dan dijalankan.
b. Kondisi Emosi Pendidik.
Kondisi emosi guru yang tidak stabil dapat menjadi penyebab terjadinya tindak kekerasan terhadap siswa karena sebagian dari guru, ustad dan ustadzah masih muda-muda dengan tingkat kedewasaan (secara emosional) yang masih belum matang. Mereka terkadang juga yang terpancing emosinya karena tingkah para santri (anta/pria) yang seringkali membandel. Sebagian besar para guru di pondok pesantren masih berusia muda dan kurang dibekali dengan ilmu pendidikan. Di Pondok Pesantren Muhammad Natsir misalnya dari 35 orang guru, hanya tiga orang yang lulus sarjana pendidikan UNP(FKIP)/STKIP.
Menurut pengakuan siswa yang pernah mengalami tindak kekerasan, guru-guru yang melakukan tindak kekerasan sering dalam keadaan sedang emosional atau marah. Ada dua kemungkinan jika ada ustadz ataupun ustadzah memberikan hukuman fisik kepada santri yang bersalah, pertama, berkemungkinan besar karena khilaf dan kedua mungkin ustad ataupun ustadzah tersebut dalam kondisi yang tidak stabil secara psikologis. Kondisi tidak stabil tersebut misalnya, ada hal lain yang mengganggu pikirannya dan selalu menjadi beban yang belum terpecahkan. Kondisi tersebut berdampak terhadap tindakannya termasuk pada saat memutuskan hukuman apa yang akan diberikan terhadap santri yang melanggar aturan (berbuat kesalahan).
Kekerasan terhadap anak yang dilakukan oleh guru dengan sangat emosional pernah disaksikan oleh Ibu Yetti orangtua siswa Pondok Pesantren Muhammad Natsir. Ibu Yetti mengatakan pernah menyaksikan guru melakukan tindak kekerasan dengan sangat emoisonal. Pada waktu itu ibu Yetti melihat pak Zam menendang murid perempuan. Hal itu merupakan pertama kali ibu Yetti melihat dia melakukan tindakan tersebut. Setelah itu ibu Yetti melaporkan kepada Kepala sekolah. Selain itu, Ibu Yetti juga pernah melihat pak Maihendrik, mencanci maki murid perempuan. Menurut ibu Yetti apabila seseorang sudah terluka dengan kata-kata akan sulit menghilangkan sakit hati.
c. Interpretasi terhadap Hukuman yang Mendidik.
Pondok pesantren modern menggabungnan sistem pendidikan sekolah umum dengan pendidikan kepesantrenan. Sistem pendidikan pesantren mendasarkan pada ketentuan agama dalam melaksanan metode pendidikan, oleh karena itu ada kemungkinan adanya perbedaan interpretasi terhadap cara-cara dalam melaksanakan pendidikan, termasuk cara-cara memberikan hukuman yang mendidik. Kekerasan terhadap anak (dalam keluarga) dalam tradisi Islam, setidaknya muncul dan dapat dipahami dari sebuah hadist nabi yang artinya, “ajarilah anak-anakmu shalat ketika berumur tujuh tahun. Jika telah mencapai usia 10 tahun dan ia enggan melaksanakan shalat, maka pukullah ia”.
Hukuman fisik dalam rangka mendidik masih tetap dibolehkan dalam pondok pesantren Muhammad Natsir seperti dikemukakan oleh Wakil Kepala bidang kesiswaan (Wakasiswa), Kepala Sekolah dan Pengurus Pondok. Menurut mereka, dalam rangka mendidik hukuman fisik masih dibutuhkan, karena hukuman berupa himbauan dan nasehat terkadang tidak sepenuhnya bisa menyelesaikan persoalan, sementara jika berpedoman kepada agama, membenarkan untuk memukul, tetapi memukul dalam hal membiasakan. Contohnya “jika anak tidak melaksanakan shalat ketika ia sudah berumur 7 tahun maka pukullah dia” jadi memukul itu diperbolehkan tetapi memukul pada bagian yang wajar selain muka atau pada tangan atau kaki. Jika melihat konsep Islam, sebenarnya boleh-boleh saja memukul dalam rangka memberikan semacam pendidikan. “Fathribuhu”lah, kalau anak-anak sudah sampai berumur 7 tahun dia tidak shalat juga itu boleh di pukul”. Pukulan yang diberikan jangan sampai melewati batas kemampuan dan umur si anak. Jadi pukulan itu dalam rangka mendidik. Bentuk “Fathribuhu” di Minangkabau misalnya pada waktu dulu para ustadz menggunakan lidi untuk memukul kaki, tetapi tidak boleh menampar, menendang, dalam konsep Islam memukul yang seperti itu tidak diperbolehkan.
Menurut kepala sekolah Pondok Pesantren Muhammad Natsir (Drs Musnir) ada dua pengertian memukul yaitu memukul secara fisik dan memukul secara psikis. Memukul secara fisik misalnya dicubit, dijewer, masih sering dilakukan di pondok, akan tetapi memukul, menampar, dan menendang, sudah tidak dibolehkan lagi dilakukan di pondok. Memukul secara psikis dengan cara menghardik dan membentak-bentak anak, sebenarnya mempunyai dampak yang lebih keras dari pada memberikan hukuman fisik kepada anak. Menghardik dilakukan kalau anak-anak dianggap sudah terlalu nakal. Guru sudah memberikan peringatan dan menasehati berkali-kali tetapi mereka masih tidak berubah sehingga membuat guru menjadi jengkel dan marah. Dalam kondisi yang demikian guru akan menghardik mereka supaya mereka mendengar dan mematuhinya. Para guru berpendapat bahwa menghardik tidak sama dengan mencaci maki atau berkata kotor kepada anak didik, karena hal itu akan berpengaruh kepada jiwa dan mental anak didik.
Memukul dalam arti untuk pendidikan dianggap bukan penganiayaan tetapi pendidikan yang bertujuan untuk memotivasi anak. Meskipun demikian memukul sebaiknya merupakan jalan terakhir, karena yang terbaik itu tidak memukul anak, sebab pendidikan itu sebenarnya dalam bentuk memotivasi, mengajar, mendidik. Kalau semua guru sudah bisa melaksanakan hal tersebut, maka memukul itu tidak akan terjadi.
Sebagai perbandingan, berdasarkan hasil penelitian Nurhilaliati (2005) menemukan bahwa perbedaan pandangan antara pengurus pondok, guru dengan orangtua/wali murid mengenai sanksi juga terjadi di Pondok Pesantren Nurul Hakim Kediri, Jawa Timur. Bagi sebagian orang tua/wali santri dan juga beberapa orang santri sanksi yang diterapkan dalam kehidupan pondok tetap saja merupakan hukuman yang mengarah kepada tindak kekerasan terhadap anak. Sedangkan bagi pihak pondok pesantren terutama santri senior dan beberapa orang ustadz, penerapan sanksi bagi pelanggaran yang dilakukan oleh santri merupakan hukuman yang bersifat mendidik atau lebih dipahami sebagai sebuah metode pembelajaran dan bukan tindak kekerasan terhadap anak.
Hukuman dalam rangka mendidik memang dapat dibenarkan dalam ilmu pendidikan seperti apa yang dikatakan oleh Dimyati dan Mudjiono (1999:95) bahwa yang termasuk kategori tindakan mendidik adalah hadiah, pujian, teguran, hukuman dan nasihat. Persoalan yang muncul adalah bentuk hukuman yang bagaimana dibolehkan atau dikategorikan dalam hukuman yang mendidik. Dalam hal inilah terjadi perbedaan antara para orang tua dan pengurus pondok. Para orang tua nampaknya tidak mengkatagorikan kekerasan sebagai hukuman yang mendidik.
Perbedaan interpretasi terhadap memukul dalam rangka mendidik inilah yang kemudian menjadi sumber terjadinya kekerasan terhadap anak di pondok. Para pengurus pondok memperluas makna dibolehkan memukul tidak hanya sekedar untuk anak-anak yang tidak melaksanakan sholat, akan tetapi menjadikan memukul sebagai bagian dari metode pendidikan di pondok khususnya dalam hal-hal yang berkaitan dengan perilaku (applied attitude).
d. Pengetahuan terhadap Undang-Undang Perlindungan Anak.
Undang-undang yang mengatur perlindungan anak sudah cukup lama diberlakukan di Indonesia, bahkan, pasal 28 B atau 2 UUD 1945, secara eksplisit menjamin perlindungan anak dari kekerasan, eksploitasi, dan diskriminasi. Pada tahun 2003 pemerintah telah membuat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Di dalam undang-undang tersebut “Negara dan pemerintah menjamin perlindungan, pemeliharaan, dan kesejahteraan anak dengan memperhatikan hak dan kewajiban orangtua, wali, atau orang lain yang secara hukum bertanggung jawab terhadap anak” (ayat 1). Untuk terlakasananya undang-undang tersebut Negara dan pemerintah diberi kewajiban untuk mengawasi penyelenggaraan perlindungan anak” (ayat 2).
Meskipun sudah 7 tahun undang-undang no 23 tahun 2002 diundangkan akan tetapi belum semua lembaga khususnya lembaga pendidikan (pondok pesantren) yang terkait dengan anak memahami esensi undang-undang tersebut. Pengetahuan para pengurus pondok, guru, kepala sekolah, dan pembina sekolah terhadap undang-undang masih kurang memadai. Mereka mengaku sudah pernah mendengar adanya undang-undang perlindungan anak tersebut akan tetapi kurang mengetahui isi undang-undang tersebut. Meskipun demikian mereka menyambut baik adanya undang-undang tersebut karena dianggap dapat mencegah terjadinya tindak kekerasan.
Calon siswa/santri ketika mendaftarkan diri untuk menjadi warga belajar di Pondok Pesantren, kepada mereka telah diperlihatkan tata tertib dan peraturan yang telah dilengkapi dengan sanksi yang berlaku dalam keberlangsungan kehidupan pondok. Jika mereka dan orang tua/walinya tidak sepakat dengan butir-butir dalam peraturan tersebut, maka sebaiknya mengundurkan diri sejak awal. Butir-butir peraturan yang ditawarkan dan menjadi semacam kontrak belajar tersebut ditujukan untuk membina dan melahirkan santri-santri yang berkualitas. Pondok Pesantren Thawalib misalnya telah membuat peraturan tata tertib siswa untuk mengatur hak dan kewajiban, larangan, dan sanksi dalam bentuk peraturan yang dibukukan. Peraturan ini disosialisasikan melalui berbagai media yang ada di pondok maupun pada saat siswa pertama kali masuk pesantren. Akan tetapi sosialisasi mengenai undang-undang tentang Perlindungan Anak masih belum dilakukan di pondok. Para Kepala sekolah yang diwawancarai mengakui bahwa selama ini masih belum mensosialisasikan undang-undang tersebut.
Berbeda dengan siswa, pengetahuan terhadap undang-undang perlindungan lebih baik dibandingkan para guru, pengurus, pembina sekolah. meskipun jumlah siswa yang mengetahui hanya 20% siswa, 80% siswa lainya mengaku tidak tahu. Pengetahuan siswa terhadap undang-undang perlindungan anak tidak sekedar hanya tahu tetapi 13% siswa mampu menyebutkan esensi hak anak yang diakui dalam undang-undang tersebut.
Dari berbagai peraturan yang dibuat oleh pondok pesantren, semuanya hanya mengatur perilaku siswa selama belajar di pondok. Sementara yang mengatur perilaku guru dalam melaksanakan proses belajar mengajar belum diatur dengan aturan tertulis. Secara lisan memang telah ada instruksi dari pimpinan pondok untuk tidak melakukan tindak kekerasan bagi para santri (khususnya pemukulan). Dalam berbagai kesempatan para kepala sekolah selalu mengingatkan untuk menghindari penggunaan kekerasan dalam melaksanakan proses belajar mengajar. Namun secara defacto, kekerasan dalam bentuk dicubit, dijewer, terhadap santri di pondok masih saja terjadi. Keadaan ini kadang-kadang masih tetap dilakukan karena adanya anggapan dari sebagian guru/ustadz bahwa salah satu metode yang paling tepat untuk menanamkan suatu kedisiplinan adalah melalui hukuman fisik. Sebab santri tidak akan “takut” hanya dengan dinasehati atau diperingati saja. Hal inilah yang membuat tindak kekerasan yang dimaksud masih tetap terjadi walau tidak sekeras dulu lagi.
4.2. Upaya Mencegah Dan Mengatasi Tindak Kekerasan Terhadap Anak
Upaya untuk mencegah dan mengatasi tindak kekerasan terhadap anak dilakukan berdasarkan analisis data yang diperoleh dari kuesioner, wawancara mendalam dengan informan dan observasi terhadap lingkungan pondok. Disamping itu juga berdasarkan faktor penyebab terjadinya tindak kekerasan yang telah diuraikan pada subbab sebelumnya.
4.2.1. Perubahan Paradigma Pikir dan Persepsi.
Perbedaan persepsi mengenai penggunaan hukuman fisik dan psikis yang sebenarnya dapat dikategorikan sebagai tindak kekerasan terhadap anak dalam rangka mendidik anak masih cukup jelas terlihat diantara para pendidik. Secara umum para pendidik masih menganggap perlu memberikan hukuman fisik meskipun dalam bentuk ringan. Hukuman fisik masih diperlukan karena adanya perbedaan latar belakang sosial budaya darimana siswa berasal yang beragam, disamping itu juga karena batas peringatan-peringatan berupa nasehat yang sudah dilampaui.
Latar belakang lingkungan sosial dimana siswa berasal membuat pendidik masih merasa perlu untuk menggunakan hukuman fisik terhadap siswa karena dengan menggunakan nasehat saja atau bahasa yang lembut tidak dapat dimengerti oleh siswa dengan baik. Siswa yang hidup dalam lingkungan sosial yang terbiasa menggunakan bahasa-bahasa yang keras dianggap oleh pendidik tidak mampu memahami bahasa-bahasa yang halus, atau tidak dapat menerima perlakukan-perlakuan halus. Dalam kondisi yang demikian, menurut persepsi para pendidik penggunaan hukuman fisik dan kata-kata keras diperlukan agar siswa dapat memahami apa yang sebenarnya diinginkan atau harus dipatuhi di pondok.
Persepsi para pendidik tersebut nampaknya perlu diubah. Kebiasaan siswa sebenarnya dapat diubah melalui pendidikan yang diterapkan di pondok. Lingkungan sosial di pondok pada dasar sudah konform terhadap nilai-nilai yang tidak mentoleransi adanya kekerasan terhadap anak. Dengan adanya lingkungan yang konform tersebut diharapkan siswa yang terlabel nakal akan dapat menyerap nilai-nilai yang berlaku sehingga dapat membuat interpretasi baru terhadap perbuatanya. Melalui interpretasi baru tersebut anak-anak yang berasal dari lingkungan sosial yang terbiasa dengan perilaku kasar dan kata-kata yang keras akan menyesuikan diri sehingga dapat mengubah perilakunya. Oleh karena itu lingkungan pondok yang secara kultural sudah konform terhadap perilaku yang anti kekerasan tidak dicemari dengan perilaku pendidik yang mempertunjukan kekerasan dalam melaksanakan proses pembelajaran.
Hukuman fisik juga sering diberikan ketika siswa sudah melampaui batas-batas peringatan yang diberikan. Biasanya tiga kali diberi peringatan secara lisan atau tertulis tidak dipatuhi kemudian pendidik memberikan hukuman fisik. Hukuman fisik tidak dimaksudkan sebagai jalan untuk mengakhiri ketidakpatuhan siswa terhadap peraturan yang ada. Karena ternyata siswa tetap melakukan pelanggaran meskipun sudah diberi hukuman fisik.
Para pendidik harus lebih sabar dalam menghadapi siswa ketika menghadapi siswa yang sudah berkali-kali diberi nasehat dan diperingati tetapi masih tetap melakukan kesalahan. Persepsi bahwa menggunakan hukuman fisik dalam rangka mendidik anak perlu dirubah, apalagi memandang hukuman fisik sebagai cara untuk membuat siswa lebih patuh merupakan cara yang kurang tepat. Hukuman fisik perlu diganti dengan hukuman yang sekaligus dapat membantu mengembangkan wawasan siswa atau memahami pelajaran. Hal ini sebenarnya yang diinginkan oleh kebanyakan siswa di pondok.
4.2.2. Penyamaan Interpretasi terhadap Hukuman Fisik.
Dasar legitimasi nilai-nilai agama nampaknya menjadi acuan ketika pendidik memberikan hukuman fisik terhadap siswa. Anak yang sudah berumur 10 tahun diperbolehkan dipukul ketika tidak mengerjakan shalat merupakan dasar yang sering kali digunakan oleh pendidik untuk melegitimasi tindakanya memberi hukuman fisik.
Ketentuan memperbolehkan untuk memukul anak berumur 10 tahun yang tidak mengerjakan shalat secara interpretaif karena shalat dianggap sebagai hal yang sangat penting bagi agama Islam. Shalat merupakan tiangnya agama, oleh karena itu anak sejak kecil harus diajarkan untuk mengerjakan shalat agar mempunyai iman yang kuat. Untuk menjaga agar anak-anak tidak lalai menjalankan ibadah shalat perlu ditanamkan sejak kecil dengan melakukan pendidikan secara ketat dalam konteks yang demikian memukul dalam rangka mendidik dapat dibenarkan.
Persoalan muncul ketika pemberian hukuman dalam bentuk pemukulan tersebut diperluas untuk semua perilaku siswa yang melakukan kesalahan dalam menjalani proses pembelajaran di pondok. Siswa-siswa yang melangar peraturan atau berbuat kesalahan di luar tidak mengerjakan shalat apakah juga dibenarkan untuk dipukul, misalnya terlambat masuk sekolah, tidak seragam, tidak mengerjakan pekerjaan rumah. Hal ini sebenarnya yang perlu dipikirkan kembali, agar jangan sampai tujuan pemukulan yang mendidik untuk menanamkan tiang agama tersebut berubah menjadi alat untuk melegitimasi semua tindak kekerasan terhadap siswa pondok tanpa ada batas-batas yang jelas.
Perbedaan interpretasi antara para ulama/ustadz/pengurus yayasan dengan dengan ketentuan uandang-undang atau para aktivis HAM mengenai tindak kekerasan dalam rangka mendidik merupakan sumber terjadinya tindak kekerasan. Tindak kekerasan apapun terhadap anak menurut undang-undang atau para aktivis HAM merupakan hal yang tidak dapat dibenarkan sekalipun dalam rangka mendidik. Sementara dalam batas-batas tertentu pemukulan sebagai bentuk tindak kekerasan fisik masih dapat dibolehkan kalau tujuanya untuk mendidik anak.
4.2.3. Peningkatan Sistem Pengawasan terhadap Siswa.
Pelaku tindak kekerasan baik dalam rangka memberi hukuman maupun tidak kebanyakan dilakukan oleh guru, senior dan teman-teman siswa sendiri. Tempat kejadian tindak kekerasan juga bervariasi dari tempat yang terbuka maupun tertutup. Sistem pengawasan yang dilakukan terhadap para santri di pondok pesantren Nurul Ikhlas berdasarkan hasil wawancara dengan pengurus asrama adalah dengan:
a. Melakukan pertemuan dengan semua tenaga pengajar dan staff setiap minggu untuk membicarakan hal-hal yang menyangkut proses pembelajaran termasuk proses pengontrolan terhadap prilaku para santri.
b. Mengingatkan pada seluruh penghuni pondok mengenai peraturan ataupun tata tertib pondok pada saat apel pagi. (tidak setiap apel)
c. Menugasi ustad untuk jaga malam (ronda) guna mengontrol para santri selain petugas keamanan (satpam).
d. Memberikan sanksi pada siapapun yang melanggar aturan atau tata tertib yang berlaku di pondok.
Pengawasan di ponpes Nurul Ikhlas terhadap santri sebetulnya dibebankan pada semua pengurus pondok untuk mengontrol prilaku santri, namun pondok juga memiliki petugas keamanan yaitu satuan pengaman (Satpam). Jika Satpam mengetahui dan mendapati ada santri yang melakukan pelanggaran terhadap peraturan pondok, maka Satpam hanya berwenang untuk menangkap dan membawa santri tersebut kepada Dewan Pembina Santri (DPS). DPS berwenang menentukan sanksi yang akan diterima oleh santri tersebut sesuai dengan pelanggaran yang dilakukannya. Selain satpam, setiap wali asrama dan kakak kelas (pendamping wali asrama) juga bertugas untuk mengontrol santrinya masing-masing.
Agak berbeda pengawasan yang dilakukan di Ponpes Thawalib. Sekuriti (Satpam) juga tidak diberi kewenangan untuk memberikan hukuman terhadap anak, apabila Satpam menemukan pelanggaran melaporkan ke koordinator asrama atau kepada wakil kesiswaan. Siapa yang akan menindak terhadap pelanggaran yang berat tergantung pada waktu pelanggaran terjadi dan bidang pelanggaran. Kalau menyangkut pelanggaran terhadap proses belajar mengajar (PBM) dan terjadi pada pukul 7 sampai 14.00 maka kewenangan menindak ada pada kepala sekolah. Sedangkan pelanggaran diluar PBM dan terjadi pukul 14.00 sampai masuk sekolah kewenangan menindak ada pada kepala asrama.
Disamping kepala sekolah dan kepala asrama, pengawasan juga dilakukan oleh badan pengawas yang merupakan organ yayasan, wali klas, waka kesiswaan. Peranan pengawas sekolah yang diangkat oleh pengurus yayasan sangat penting dalam mengawasi sekolah baik proses belajar mengajarnya maupun kondisi fisik sekolah. Proses pengawasan dilakukan secara berjenjang, jika ada anak yang bermasalah, pertama wali kelas yang bertanggung jawab. Kalau tidak selesai diproses oleh wali kelas, lalu naik ke tingkat kesiswaan, kalau persoalanya masih tidak dapat diselesaikan dilaporkan ke kepala sekolah. Kepala sekolah akan melaporkan ke pengawas dan ke pimpinan perguruan, apabila tidak dapat menyelesaikan. Putusan terakhir terhadap masalah siswa berada di tangan pengurus yayasan tersebut.
Pelaksanaan hukuman terhadap siswa memerlukan sistem pengawasan yang ketat agar dilaksanakan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Oleh karena itu harus ada pengawasan terhadap para eksekutor agar sanksi yang diberikan tidak melampaui batas-batas yang telah diatur dalam peraturan sekolah. Disamping itu, para senior yang ditugaskan untuk mengawasi yuniornya juga harus diberi penjelasan agar tidak menyalahgunakan kewenanganya diluar ketentuan yang berlaku, karena pelaku tindak kekerasan yang banyak terjadi di lingkungan pondok salah satunya terbanyak dilakukan oleh senior.
4.2.4. Sosialisasi Peraturan dan Undang-Undang tentang Perlindungan Anak.
Peraturan sekolah yang berlaku untuk mengatur perilaku anak selama mengikuti pendidikan pada umumnya sudah disosialisasikan dengan baik melalui berbagai forum yang ada disekolah (kuliah tuju menit (kultum), apel pagi, upacara bendera). Disamping itu juga dipublikasikan melalui papan-papan pengumuman dan buku/buklet yang dibagikan kepada pada siswa dan orangtua siswa. Secara lisan sosialisasi dilakukan hampir setiap hari pada saat apel pagi dan secara tertulis dengan membagikan lembaran tata tertib kepada para santri atau menempelkan tata tertib peraturan sekolah tersebut di papan pengumuman.
Forum kuliah tuju menit (kultum) yang diadakan setiap habis mengerjakan sholat wajib merupakan ajang yang banyak digunakan oleh sekolah menyampaikan peraturan sekolah atau sanksi-sanksi yang dapat diberikan terhadap siswa yang melanggar peraturan sekolah tersebut. Disamping forum kultum, pada saat apel pagi dan upacara bendera juga digunakan oleh kepala sekolah dan guru untuk menyampaikan aturan-aturan sekolah. Tata tertib pondok, seperti rutinitas para santri setiap hari, peraturan menyangkut etika pergaulan, peraturan izin keluar pondok, merupakan contoh berbagai peraturan yang diberikan saat apel pagi kepada semua peserta apel pagi.
Akan tetapi peraturan mengenai perlindungan anak dari tindak kekerasan yang sudah diberlakukan sejak tahun 2003 dan peraturan lain yang berkaitan dengan hal tersebut masih belum banyak disosialisasikan baik terhadap siswa, guru atau pengurus sekolah maupun yayasan. Forum-forum yang ada belum banyak menyinggung soal kekerasan terhadap anak dan digunakan untuk meningkatkan pemahaman mengenai tindak kekerasan terhadap anak sehingga pengetahuan para pendidik mengenai hal tersebut masih belum memadai.
Berdasarkan hasil wawancara dengan berbagai informan baik guru, pembina sekolah, pimpinan sekolah, dan pengurus pondok memperlihatkan bahwa pengetahuan para informan terhadap undang-undang tentang perlindungan anak masih kurang memadai. Para pendidik masih belum banyak yang dapat menyebutkan undang-undang yang mengatur mengenai perlindungan anak dan mengenai hak-hak anak. Justru para siswa yang lebih banyak mengetahui mengenai hak-hak anak yang harus dipenuhi dalam rangka tumbuh kembang dan perlindungan anak. Pada umumnya para pendidik sudah mengetahui adanya undang-undang tersebut dan menyetujui bahwa anak-anak perlu dilindungi. Undang-undang perlindungan anak dianggap perlu untuk melindungi anak dari tindak kekerasan.
Kondisi ini perlu lebih mendapat perhatian oleh pendidik dan pengurus sekolah maupun pihak yayasan. Pengetahuan mengenai hak-hak anak yang terkandung dalam undang-undang perlindungan anak perlu lebih disosialisasikan kepada para siswa, guru, dan pengurus yayasan untuk memberikan persamaan persepsi mengenai hukuman yang mendidik bagi para siswa. Pemahaman yang baik dan persepsi yang sama terhadap bentuk-bentuk kekerasan yang tidak boleh dilakukan terhadap siswa akan dapat mencegah terjadinya tindak kekerasan terhadap anak.
Perbedaan interpretasi dan persepsi mengenai tindak kekerasan terhadap anak sebagai bentuk hukuman mendidik akan dapat diatasi dengan pemahaman yang baik mengenai undang-undang tersebut. Melalui pemahamanan terhadap undang-undang akan dapat ditetapkan batas-batas mana yang menurut agama dibolehkan untuk menggunakan kekerasan fisik dan batas-batas mana yang tidak boleh menggunakanya sehingga agama tidak lagi digunakan untuk melgitimasi tindak kekerasan melebihi porsi yang dibolehkan oleh agama itu sendiri. Melalui sosialisasi terhadap undang-undang perlindungan anak dapat dilakukan kompromi atau kesepakatan mengenai batas-batas tersebut apabila memang menurut para ustad hukuman fisik masih tetap diperlukan.
4.2.5. Resosialisasi Pelaku Tindak Kekerasan
Usaha untuk mengatasi masalah tindak kekerasan terhadap anak dapat dilakukan dengan meresosialisasi pelaku tindak kekerasan tersebut dengan nilai-nilai yang anti kekerasa terhadap anak. Para aktor pelaku tindak kekerasan diberikan pemahaman kembali dengan nilai-nilai tersebut agar menyadari bahwa tindakanya menyalahi aturan yang telah ditetapkan. Sekolah/pondok pada umumnya memiliki lembaga Bimbingan Konseling (BK), yang berfungsi sebagai lembaga konsultasi bagi anak-anak yang mengalami masalah di sekolah. Melalui lembaga tersebut, resosialisasi nilai-nilai anti kekerasan terhadap aktor pelaku tindak kekerasan terhadap anak dapat dilakukan. Disamping itu jika ada santri yang mengalami tindak kekerasan maka santri tersebut dapat dibawa ke BK untuk dapat berkonsultasi dengan guru BK. Guru BK diharapkan dapat berusaha untuk mencari tahu permasalahan yang terjadi serta mencari solusinya.
Lembaga BK meskipun secara formal ada pada setiap ponpes/sekolah akan tetapi masih belum berfungsi dan dimanfaatkan secara maksimal oleh para siswa maupun guru-guru untuk mengatasi masalah tindak kekerasan terhadap anak. Hal ini disebabkan karena para guru yang bertugas di bagian BK masih belum mempunyai latar belakang pendidikan yang memadai untuk memberikan konsultasi bagi anak-anak yang bermasalah (aktor pelaku tindak kekerasan) atau korban tindak kekerasan sehingga pelayanan yang diberikan juga tidak maksimal. Kebanyakan para guru BK bukan berasal dari pendidikan BK sehingga kemampuan untuk memberikan konsultasi hanya berdasarkan pengalamanya saja. Mereka adalah guru pemegang matapelajaran lain yang diberi tugas tambahan sebagai guru BK. Di pondok pesantren Muhammad Natsir, mislanya guru BK dirangkap oleh Kepala Sekolah yang berlatar belakang pendidikam Matematika. Kondisi tersebut dapat menyebabkan usaha mengatasi tindak kekerasan tidak maksimal dilakukan.
Resource :
PENGKAJIAN KESEJAHTERAAN DAN PERLINDUNGAN ANAK
(STUDI TENTANG KEKERASAN TERHADAP ANAK DI LINGKUNGAN PONDOK PESANTREN MODERN PROVINSI SUMATERA BARAT)
Oleh:
Tim Peneliti
Drs. Wahyu Pramono, MSi Prof. Dra. Sjahridal Dahlan, MS Prof. Dr. Hj. Siti Salmah Indraddin, S.Sos, MSi
PUSAT STUDI WANITA (PSW) UNIVERSITAS ANDALAS
Bekerjasama dengan Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Propinsi Sumatera Barat Tahun 2009
http://repository.unand.ac.id/2305/1/Makalah_Seminar_Hasil_Penelt__Kekerasan_Anak.doc
Gambaran tersebut memberikan makna bahwa hukuman telah menjadi bagian dari metode pendidikan yang diterapkan di pondok pesantren. Para pendidik menyadari bahwa hukuman perlu diberikan karena pada dasarnya bertujuan untuk menunjukkan mana perbuatan yang benar dan mana yang salah. Seperti dikemukakan oleh Kepala Sekolah SMA Nurul Ikhlas dengan memberikan hukuman kepada santri yang bersalah maka kita mengharapkan mereka mengetahui mana perbuatan yang benar dan mana yang salah, sehingga untuk kedepannya mereka dapat berubah kearah yang lebih baik. Selain itu, pemberian hukuman dianggap sebagai cara untuk mencapai salah satu misi pondok pesantren Nurul Ikhlas yaitu untuk mempersiapkan santri yang berakhlak dan berbudi pekerti luhur. Disamping itu hukuman yang diberikan membuat anak tidak akan mengulangi kesalahan yang sama di masa yang akan datang, anak diharapkan selalu berfikir sebelum bertindak, anak diharapkan bisa berubah menjadi pribadi yang lebih baik dari sebelumnya, dan menimbulkan efek jera yang bisa dirasakan oleh anak.
Cara-cara memberikan hukuman yang mendidik terhadap murid yang melanggar peraturan adalah dengan memberikan teguran pada santri yang melanggar peraturan, memberikan peringatan dan nasehat, membuat surat perjanjian, memanggil orang tua santri ke sekolah, dan memulangkan santri kepada orang tua. Pemberian hukuman sampai saat ini diberikan pada anak yang benar-benar melakukan kesalahan yang berat dan ada unsur kelalaian. Seperti apabila berkelahi para santri harus diselesaikan masalahnya dengan teman tersebut dan selanjutnya ketika mereka menyadari kesalahannya maka mereka akan di hukum berdasarkan kesalahannya. Hukuman yang diberikan diantaranya membersihkan pekarangan pondok, atau push up, berlari keliling lapangan, terkadang menghafal alquran, dan hukuman lainnya sesuai dengan tingkat kesalahan. Hukuman atas kelalaian, malas, atau tidak membuat tugas atau tidak memakai seragam terkadang dihukum langsung oleh guru ketika sedang mengajar, seperti diharuskan untuk menghafal alquran atau di suruh untuk membersihkan ruangan, dan lain-lain.
Di Pondok Pesantren Muhammad Natsir membedakan hukuman berdasarkan bidang kegiatanya yaitu hukuman untuk pelanggaran yang berkaitan dengan pendidikan sekolah dan pendidikan keagamaan. Terdapat tiga opsi hukuman yaitu hukuman denda, membersihkan pekarangan sekolah dan membersihkan kamar mandi atau WC. Jika mereka memilih hukuman membayar denda dan lalai atau terlambat membayar, maka denda akan dinaikan. Begitu juga dengan hukuman yang lain kalau sudah diberi hukuman masih melakukan kesalahan yang sama sampai batas 3 kali maka akan ada pemanggilan.
Hukuman yang berkaitan dengan pendidikan agama misalnya shalat, hukuman yang diberikan juga berupa denda, dengan besar denda dihitung per rakaat tidak shalat dikenai denda Rp. 1000. Kalau denda tersebut masih tidak membuat siswa menetapi peraturan, maka tim pembina dan seniornya akan memberikan hukuman tambahan seperti disuruh membersihkan lingkungan mesjid. Disamping itu siswa yang melanggar dipermalukan di depan teman-temannya agar mereka tidak mengulangi lagi dengan cara dimandikan di depan teman-temanya tersebut. Hukuman tersebut dilaksanakan oleh senior mereka. Apabila hukuman tersebut masih belum membuat siswa jera maka para senior akan melaporkan kepada pembina jika pembina tidak dapat menyelesaikan juga baru diserahkan kepada pimpinan untuk mengambil kebijaksanaan.
Dalam arti yang lebih luas hukuman fisik sebenarnya dapat diartikan sebagai hukuman yang memerlukan kekuatan fisik untuk menjalaninya oleh karena itu push up, membersihkan WC, membersihkan ruangan, berlari keliling lapangan dapat dikategorikan dalam bentuk hukuman fisik tersebut.
Gambaran tersebut memberikan arti bahwa pada dasarnya cara-cara memberikan hukuman yang persuasif lebih dikedepankan oleh para pendidik di pondok pesantren. Namun demikian hukuman fisik ternyata oleh sebagian pendidik masih diperlukan, meskipun secara formal tidak dicantumkan dalam peraturan. Hal ini terlihat dari data yang diperoleh dari siswa yang memperlihatkan hukuman fisik memang masih diberikan pada siswa. Bentuk hukuman fisik yang paling banyak diberikan kepada siswa adalah dengan menjewer telinganya.
Standar yang digunakan untuk menentukan hukuman fisik adalah apabila sudah berkali-kali dinasehati tidak mau berubah atau tidak mengindahkanya. Hukuman seperti ini biasanya diberikan pada santri yang melakukan kesalahan yang sama padahal sebelumnya sudah dinasehati dan dikasih peringatan sebanyak 3 kali. Meskipun demikian diantara para pendidik juga mempunyai perbedaan pandangan mengenai pemberian hukuman fisik tersebut.
Para pendidik, komite sekolah, orangtua siswa, dan para pengurus sekolah maupun pengurus asrama berbeda-beda pandangan mengenai hukuman fisik terhadap siswa. Seperti dikemukakan oleh Zulfahmi pengurus asrama dan Yarmi S.Pd Kepala Sekolah Pondok Pesantren Modern Nurul Ikhlas bahwa hukuman fisik masih diperlukan tetapi dalam batas yang sewajarnya, artinya hukuman tersebut tidak sampai membuat santri merasa tersakiti ataupun tersiksa. Mereka menyadari bahwa hukuman fisik yang diberikan akan mempunyai dampak bagi anak muridnya oleh karena itu pemberian hukuman fisik harus dilakukan secara berhati-hati jangan sampai menyakiti fisik maupun mental siswa. Sementara Kepala Sekolah SMP Sabbihisma, Yuhendri, mengatakan bahwa hukuman fisik terkadang masih di butuhkan, tetapi hukuman fisik tidak sampai memukul, hukuman fisik yang di maksud hanya sekedar mencubit.
Pandangan kepala sekolah tersebut sejalan dengan H. Zukifli, pengurus pondok pesantren Sabbihisma, yang juga berpendapat bahwa hukuman fisik untuk mendidik terkadang masih perlu ditegakkan, mengingat tidak semua murid dapat mengerti bila dididik dengan kelembutan. Para siswa terkadang berasal dari lingkungan yang sudah keras sehingga tidak dapat mencerna bahasa-bahasa yang lembut ketika dinasehati.
Para orangtua siswa dan guru berbeda pandangan bahwa hukuman fisik tidak diperlukan karena mereka mengetahui akibat yang ditimbulkan oleh hukuman fisik tersebut. Orang tua tidak menginginkan anaknya diberikan hukuman fisik. Hukuman fisik tidak boleh diberikan sekalipun dengan alasan untuk mendidik.
Pernyataan yang cukup menarik dikemukakan oleh orang tua siswa Pondok Pesantren Muhammad Natsir, Ibu Yetti, yang mengatakan bahwa pokoknya sekarang ini yang namanya kekerasan tidak boleh diterapkan lagi, mengajar anak harus dengan lemah lembut dan kasih sayang. Para siswa sudah jauh-jauh datang untuk bersekolah di pondok, kalau guru melakukan kekerasan kepada siswa, maka kepada siapa lagi siswa akan mengadu. Sedangkan di sekolah yang menjadi orang tua siswa adalah guru-guru mereka. Jika siswa dikerasi mereka akan bertambah nakal, sementara mungkin di rumah anak-anak sudah menghadapi banyak masalah, kalau di pondok diberi kekerasan juga maka anak bisa menjadi tambah panik. Para orang tua tahu bahwa dampak terhadap pemberian hukuman fisik terhadap anak akan sangat tidak baik, trauma akan bisa terjadi lama oleh karena itu pemberian hukuman fisik sedapat mungkin dihindarkan.
Pandangan yang masih menganggap pemberian hukuman fisik masih dianggap perlu untuk mendisiplinkan siswa tersebut nampaknya menjadi faktor penyebab terjadinya kekerasan terhadap anak. Kemampuan yang kurang memadai dan kesabaran para guru dalam menjalankan proses belajar dalam menghadapi perilaku anak yang mempunyai latar belakang sosial budaya yang berbeda-beda mendorong para guru sering menggunakan cara-cara kekerasan untuk mendidik anak. Peringatan dan nasehat yang sudah berkali-kali diberikan tetapi tidak diindahkan membuat para guru mengambil jalan pintas dengan menjewer atau mencubit anak didik agar nasehatnya dididengar dan dijalankan.
b. Kondisi Emosi Pendidik.
Kondisi emosi guru yang tidak stabil dapat menjadi penyebab terjadinya tindak kekerasan terhadap siswa karena sebagian dari guru, ustad dan ustadzah masih muda-muda dengan tingkat kedewasaan (secara emosional) yang masih belum matang. Mereka terkadang juga yang terpancing emosinya karena tingkah para santri (anta/pria) yang seringkali membandel. Sebagian besar para guru di pondok pesantren masih berusia muda dan kurang dibekali dengan ilmu pendidikan. Di Pondok Pesantren Muhammad Natsir misalnya dari 35 orang guru, hanya tiga orang yang lulus sarjana pendidikan UNP(FKIP)/STKIP.
Menurut pengakuan siswa yang pernah mengalami tindak kekerasan, guru-guru yang melakukan tindak kekerasan sering dalam keadaan sedang emosional atau marah. Ada dua kemungkinan jika ada ustadz ataupun ustadzah memberikan hukuman fisik kepada santri yang bersalah, pertama, berkemungkinan besar karena khilaf dan kedua mungkin ustad ataupun ustadzah tersebut dalam kondisi yang tidak stabil secara psikologis. Kondisi tidak stabil tersebut misalnya, ada hal lain yang mengganggu pikirannya dan selalu menjadi beban yang belum terpecahkan. Kondisi tersebut berdampak terhadap tindakannya termasuk pada saat memutuskan hukuman apa yang akan diberikan terhadap santri yang melanggar aturan (berbuat kesalahan).
Kekerasan terhadap anak yang dilakukan oleh guru dengan sangat emosional pernah disaksikan oleh Ibu Yetti orangtua siswa Pondok Pesantren Muhammad Natsir. Ibu Yetti mengatakan pernah menyaksikan guru melakukan tindak kekerasan dengan sangat emoisonal. Pada waktu itu ibu Yetti melihat pak Zam menendang murid perempuan. Hal itu merupakan pertama kali ibu Yetti melihat dia melakukan tindakan tersebut. Setelah itu ibu Yetti melaporkan kepada Kepala sekolah. Selain itu, Ibu Yetti juga pernah melihat pak Maihendrik, mencanci maki murid perempuan. Menurut ibu Yetti apabila seseorang sudah terluka dengan kata-kata akan sulit menghilangkan sakit hati.
c. Interpretasi terhadap Hukuman yang Mendidik.
Pondok pesantren modern menggabungnan sistem pendidikan sekolah umum dengan pendidikan kepesantrenan. Sistem pendidikan pesantren mendasarkan pada ketentuan agama dalam melaksanan metode pendidikan, oleh karena itu ada kemungkinan adanya perbedaan interpretasi terhadap cara-cara dalam melaksanakan pendidikan, termasuk cara-cara memberikan hukuman yang mendidik. Kekerasan terhadap anak (dalam keluarga) dalam tradisi Islam, setidaknya muncul dan dapat dipahami dari sebuah hadist nabi yang artinya, “ajarilah anak-anakmu shalat ketika berumur tujuh tahun. Jika telah mencapai usia 10 tahun dan ia enggan melaksanakan shalat, maka pukullah ia”.
Hukuman fisik dalam rangka mendidik masih tetap dibolehkan dalam pondok pesantren Muhammad Natsir seperti dikemukakan oleh Wakil Kepala bidang kesiswaan (Wakasiswa), Kepala Sekolah dan Pengurus Pondok. Menurut mereka, dalam rangka mendidik hukuman fisik masih dibutuhkan, karena hukuman berupa himbauan dan nasehat terkadang tidak sepenuhnya bisa menyelesaikan persoalan, sementara jika berpedoman kepada agama, membenarkan untuk memukul, tetapi memukul dalam hal membiasakan. Contohnya “jika anak tidak melaksanakan shalat ketika ia sudah berumur 7 tahun maka pukullah dia” jadi memukul itu diperbolehkan tetapi memukul pada bagian yang wajar selain muka atau pada tangan atau kaki. Jika melihat konsep Islam, sebenarnya boleh-boleh saja memukul dalam rangka memberikan semacam pendidikan. “Fathribuhu”lah, kalau anak-anak sudah sampai berumur 7 tahun dia tidak shalat juga itu boleh di pukul”. Pukulan yang diberikan jangan sampai melewati batas kemampuan dan umur si anak. Jadi pukulan itu dalam rangka mendidik. Bentuk “Fathribuhu” di Minangkabau misalnya pada waktu dulu para ustadz menggunakan lidi untuk memukul kaki, tetapi tidak boleh menampar, menendang, dalam konsep Islam memukul yang seperti itu tidak diperbolehkan.
Menurut kepala sekolah Pondok Pesantren Muhammad Natsir (Drs Musnir) ada dua pengertian memukul yaitu memukul secara fisik dan memukul secara psikis. Memukul secara fisik misalnya dicubit, dijewer, masih sering dilakukan di pondok, akan tetapi memukul, menampar, dan menendang, sudah tidak dibolehkan lagi dilakukan di pondok. Memukul secara psikis dengan cara menghardik dan membentak-bentak anak, sebenarnya mempunyai dampak yang lebih keras dari pada memberikan hukuman fisik kepada anak. Menghardik dilakukan kalau anak-anak dianggap sudah terlalu nakal. Guru sudah memberikan peringatan dan menasehati berkali-kali tetapi mereka masih tidak berubah sehingga membuat guru menjadi jengkel dan marah. Dalam kondisi yang demikian guru akan menghardik mereka supaya mereka mendengar dan mematuhinya. Para guru berpendapat bahwa menghardik tidak sama dengan mencaci maki atau berkata kotor kepada anak didik, karena hal itu akan berpengaruh kepada jiwa dan mental anak didik.
Memukul dalam arti untuk pendidikan dianggap bukan penganiayaan tetapi pendidikan yang bertujuan untuk memotivasi anak. Meskipun demikian memukul sebaiknya merupakan jalan terakhir, karena yang terbaik itu tidak memukul anak, sebab pendidikan itu sebenarnya dalam bentuk memotivasi, mengajar, mendidik. Kalau semua guru sudah bisa melaksanakan hal tersebut, maka memukul itu tidak akan terjadi.
Sebagai perbandingan, berdasarkan hasil penelitian Nurhilaliati (2005) menemukan bahwa perbedaan pandangan antara pengurus pondok, guru dengan orangtua/wali murid mengenai sanksi juga terjadi di Pondok Pesantren Nurul Hakim Kediri, Jawa Timur. Bagi sebagian orang tua/wali santri dan juga beberapa orang santri sanksi yang diterapkan dalam kehidupan pondok tetap saja merupakan hukuman yang mengarah kepada tindak kekerasan terhadap anak. Sedangkan bagi pihak pondok pesantren terutama santri senior dan beberapa orang ustadz, penerapan sanksi bagi pelanggaran yang dilakukan oleh santri merupakan hukuman yang bersifat mendidik atau lebih dipahami sebagai sebuah metode pembelajaran dan bukan tindak kekerasan terhadap anak.
Hukuman dalam rangka mendidik memang dapat dibenarkan dalam ilmu pendidikan seperti apa yang dikatakan oleh Dimyati dan Mudjiono (1999:95) bahwa yang termasuk kategori tindakan mendidik adalah hadiah, pujian, teguran, hukuman dan nasihat. Persoalan yang muncul adalah bentuk hukuman yang bagaimana dibolehkan atau dikategorikan dalam hukuman yang mendidik. Dalam hal inilah terjadi perbedaan antara para orang tua dan pengurus pondok. Para orang tua nampaknya tidak mengkatagorikan kekerasan sebagai hukuman yang mendidik.
Perbedaan interpretasi terhadap memukul dalam rangka mendidik inilah yang kemudian menjadi sumber terjadinya kekerasan terhadap anak di pondok. Para pengurus pondok memperluas makna dibolehkan memukul tidak hanya sekedar untuk anak-anak yang tidak melaksanakan sholat, akan tetapi menjadikan memukul sebagai bagian dari metode pendidikan di pondok khususnya dalam hal-hal yang berkaitan dengan perilaku (applied attitude).
d. Pengetahuan terhadap Undang-Undang Perlindungan Anak.
Undang-undang yang mengatur perlindungan anak sudah cukup lama diberlakukan di Indonesia, bahkan, pasal 28 B atau 2 UUD 1945, secara eksplisit menjamin perlindungan anak dari kekerasan, eksploitasi, dan diskriminasi. Pada tahun 2003 pemerintah telah membuat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Di dalam undang-undang tersebut “Negara dan pemerintah menjamin perlindungan, pemeliharaan, dan kesejahteraan anak dengan memperhatikan hak dan kewajiban orangtua, wali, atau orang lain yang secara hukum bertanggung jawab terhadap anak” (ayat 1). Untuk terlakasananya undang-undang tersebut Negara dan pemerintah diberi kewajiban untuk mengawasi penyelenggaraan perlindungan anak” (ayat 2).
Meskipun sudah 7 tahun undang-undang no 23 tahun 2002 diundangkan akan tetapi belum semua lembaga khususnya lembaga pendidikan (pondok pesantren) yang terkait dengan anak memahami esensi undang-undang tersebut. Pengetahuan para pengurus pondok, guru, kepala sekolah, dan pembina sekolah terhadap undang-undang masih kurang memadai. Mereka mengaku sudah pernah mendengar adanya undang-undang perlindungan anak tersebut akan tetapi kurang mengetahui isi undang-undang tersebut. Meskipun demikian mereka menyambut baik adanya undang-undang tersebut karena dianggap dapat mencegah terjadinya tindak kekerasan.
Calon siswa/santri ketika mendaftarkan diri untuk menjadi warga belajar di Pondok Pesantren, kepada mereka telah diperlihatkan tata tertib dan peraturan yang telah dilengkapi dengan sanksi yang berlaku dalam keberlangsungan kehidupan pondok. Jika mereka dan orang tua/walinya tidak sepakat dengan butir-butir dalam peraturan tersebut, maka sebaiknya mengundurkan diri sejak awal. Butir-butir peraturan yang ditawarkan dan menjadi semacam kontrak belajar tersebut ditujukan untuk membina dan melahirkan santri-santri yang berkualitas. Pondok Pesantren Thawalib misalnya telah membuat peraturan tata tertib siswa untuk mengatur hak dan kewajiban, larangan, dan sanksi dalam bentuk peraturan yang dibukukan. Peraturan ini disosialisasikan melalui berbagai media yang ada di pondok maupun pada saat siswa pertama kali masuk pesantren. Akan tetapi sosialisasi mengenai undang-undang tentang Perlindungan Anak masih belum dilakukan di pondok. Para Kepala sekolah yang diwawancarai mengakui bahwa selama ini masih belum mensosialisasikan undang-undang tersebut.
Berbeda dengan siswa, pengetahuan terhadap undang-undang perlindungan lebih baik dibandingkan para guru, pengurus, pembina sekolah. meskipun jumlah siswa yang mengetahui hanya 20% siswa, 80% siswa lainya mengaku tidak tahu. Pengetahuan siswa terhadap undang-undang perlindungan anak tidak sekedar hanya tahu tetapi 13% siswa mampu menyebutkan esensi hak anak yang diakui dalam undang-undang tersebut.
Dari berbagai peraturan yang dibuat oleh pondok pesantren, semuanya hanya mengatur perilaku siswa selama belajar di pondok. Sementara yang mengatur perilaku guru dalam melaksanakan proses belajar mengajar belum diatur dengan aturan tertulis. Secara lisan memang telah ada instruksi dari pimpinan pondok untuk tidak melakukan tindak kekerasan bagi para santri (khususnya pemukulan). Dalam berbagai kesempatan para kepala sekolah selalu mengingatkan untuk menghindari penggunaan kekerasan dalam melaksanakan proses belajar mengajar. Namun secara defacto, kekerasan dalam bentuk dicubit, dijewer, terhadap santri di pondok masih saja terjadi. Keadaan ini kadang-kadang masih tetap dilakukan karena adanya anggapan dari sebagian guru/ustadz bahwa salah satu metode yang paling tepat untuk menanamkan suatu kedisiplinan adalah melalui hukuman fisik. Sebab santri tidak akan “takut” hanya dengan dinasehati atau diperingati saja. Hal inilah yang membuat tindak kekerasan yang dimaksud masih tetap terjadi walau tidak sekeras dulu lagi.
4.2. Upaya Mencegah Dan Mengatasi Tindak Kekerasan Terhadap Anak
Upaya untuk mencegah dan mengatasi tindak kekerasan terhadap anak dilakukan berdasarkan analisis data yang diperoleh dari kuesioner, wawancara mendalam dengan informan dan observasi terhadap lingkungan pondok. Disamping itu juga berdasarkan faktor penyebab terjadinya tindak kekerasan yang telah diuraikan pada subbab sebelumnya.
4.2.1. Perubahan Paradigma Pikir dan Persepsi.
Perbedaan persepsi mengenai penggunaan hukuman fisik dan psikis yang sebenarnya dapat dikategorikan sebagai tindak kekerasan terhadap anak dalam rangka mendidik anak masih cukup jelas terlihat diantara para pendidik. Secara umum para pendidik masih menganggap perlu memberikan hukuman fisik meskipun dalam bentuk ringan. Hukuman fisik masih diperlukan karena adanya perbedaan latar belakang sosial budaya darimana siswa berasal yang beragam, disamping itu juga karena batas peringatan-peringatan berupa nasehat yang sudah dilampaui.
Latar belakang lingkungan sosial dimana siswa berasal membuat pendidik masih merasa perlu untuk menggunakan hukuman fisik terhadap siswa karena dengan menggunakan nasehat saja atau bahasa yang lembut tidak dapat dimengerti oleh siswa dengan baik. Siswa yang hidup dalam lingkungan sosial yang terbiasa menggunakan bahasa-bahasa yang keras dianggap oleh pendidik tidak mampu memahami bahasa-bahasa yang halus, atau tidak dapat menerima perlakukan-perlakuan halus. Dalam kondisi yang demikian, menurut persepsi para pendidik penggunaan hukuman fisik dan kata-kata keras diperlukan agar siswa dapat memahami apa yang sebenarnya diinginkan atau harus dipatuhi di pondok.
Persepsi para pendidik tersebut nampaknya perlu diubah. Kebiasaan siswa sebenarnya dapat diubah melalui pendidikan yang diterapkan di pondok. Lingkungan sosial di pondok pada dasar sudah konform terhadap nilai-nilai yang tidak mentoleransi adanya kekerasan terhadap anak. Dengan adanya lingkungan yang konform tersebut diharapkan siswa yang terlabel nakal akan dapat menyerap nilai-nilai yang berlaku sehingga dapat membuat interpretasi baru terhadap perbuatanya. Melalui interpretasi baru tersebut anak-anak yang berasal dari lingkungan sosial yang terbiasa dengan perilaku kasar dan kata-kata yang keras akan menyesuikan diri sehingga dapat mengubah perilakunya. Oleh karena itu lingkungan pondok yang secara kultural sudah konform terhadap perilaku yang anti kekerasan tidak dicemari dengan perilaku pendidik yang mempertunjukan kekerasan dalam melaksanakan proses pembelajaran.
Hukuman fisik juga sering diberikan ketika siswa sudah melampaui batas-batas peringatan yang diberikan. Biasanya tiga kali diberi peringatan secara lisan atau tertulis tidak dipatuhi kemudian pendidik memberikan hukuman fisik. Hukuman fisik tidak dimaksudkan sebagai jalan untuk mengakhiri ketidakpatuhan siswa terhadap peraturan yang ada. Karena ternyata siswa tetap melakukan pelanggaran meskipun sudah diberi hukuman fisik.
Para pendidik harus lebih sabar dalam menghadapi siswa ketika menghadapi siswa yang sudah berkali-kali diberi nasehat dan diperingati tetapi masih tetap melakukan kesalahan. Persepsi bahwa menggunakan hukuman fisik dalam rangka mendidik anak perlu dirubah, apalagi memandang hukuman fisik sebagai cara untuk membuat siswa lebih patuh merupakan cara yang kurang tepat. Hukuman fisik perlu diganti dengan hukuman yang sekaligus dapat membantu mengembangkan wawasan siswa atau memahami pelajaran. Hal ini sebenarnya yang diinginkan oleh kebanyakan siswa di pondok.
4.2.2. Penyamaan Interpretasi terhadap Hukuman Fisik.
Dasar legitimasi nilai-nilai agama nampaknya menjadi acuan ketika pendidik memberikan hukuman fisik terhadap siswa. Anak yang sudah berumur 10 tahun diperbolehkan dipukul ketika tidak mengerjakan shalat merupakan dasar yang sering kali digunakan oleh pendidik untuk melegitimasi tindakanya memberi hukuman fisik.
Ketentuan memperbolehkan untuk memukul anak berumur 10 tahun yang tidak mengerjakan shalat secara interpretaif karena shalat dianggap sebagai hal yang sangat penting bagi agama Islam. Shalat merupakan tiangnya agama, oleh karena itu anak sejak kecil harus diajarkan untuk mengerjakan shalat agar mempunyai iman yang kuat. Untuk menjaga agar anak-anak tidak lalai menjalankan ibadah shalat perlu ditanamkan sejak kecil dengan melakukan pendidikan secara ketat dalam konteks yang demikian memukul dalam rangka mendidik dapat dibenarkan.
Persoalan muncul ketika pemberian hukuman dalam bentuk pemukulan tersebut diperluas untuk semua perilaku siswa yang melakukan kesalahan dalam menjalani proses pembelajaran di pondok. Siswa-siswa yang melangar peraturan atau berbuat kesalahan di luar tidak mengerjakan shalat apakah juga dibenarkan untuk dipukul, misalnya terlambat masuk sekolah, tidak seragam, tidak mengerjakan pekerjaan rumah. Hal ini sebenarnya yang perlu dipikirkan kembali, agar jangan sampai tujuan pemukulan yang mendidik untuk menanamkan tiang agama tersebut berubah menjadi alat untuk melegitimasi semua tindak kekerasan terhadap siswa pondok tanpa ada batas-batas yang jelas.
Perbedaan interpretasi antara para ulama/ustadz/pengurus yayasan dengan dengan ketentuan uandang-undang atau para aktivis HAM mengenai tindak kekerasan dalam rangka mendidik merupakan sumber terjadinya tindak kekerasan. Tindak kekerasan apapun terhadap anak menurut undang-undang atau para aktivis HAM merupakan hal yang tidak dapat dibenarkan sekalipun dalam rangka mendidik. Sementara dalam batas-batas tertentu pemukulan sebagai bentuk tindak kekerasan fisik masih dapat dibolehkan kalau tujuanya untuk mendidik anak.
4.2.3. Peningkatan Sistem Pengawasan terhadap Siswa.
Pelaku tindak kekerasan baik dalam rangka memberi hukuman maupun tidak kebanyakan dilakukan oleh guru, senior dan teman-teman siswa sendiri. Tempat kejadian tindak kekerasan juga bervariasi dari tempat yang terbuka maupun tertutup. Sistem pengawasan yang dilakukan terhadap para santri di pondok pesantren Nurul Ikhlas berdasarkan hasil wawancara dengan pengurus asrama adalah dengan:
a. Melakukan pertemuan dengan semua tenaga pengajar dan staff setiap minggu untuk membicarakan hal-hal yang menyangkut proses pembelajaran termasuk proses pengontrolan terhadap prilaku para santri.
b. Mengingatkan pada seluruh penghuni pondok mengenai peraturan ataupun tata tertib pondok pada saat apel pagi. (tidak setiap apel)
c. Menugasi ustad untuk jaga malam (ronda) guna mengontrol para santri selain petugas keamanan (satpam).
d. Memberikan sanksi pada siapapun yang melanggar aturan atau tata tertib yang berlaku di pondok.
Pengawasan di ponpes Nurul Ikhlas terhadap santri sebetulnya dibebankan pada semua pengurus pondok untuk mengontrol prilaku santri, namun pondok juga memiliki petugas keamanan yaitu satuan pengaman (Satpam). Jika Satpam mengetahui dan mendapati ada santri yang melakukan pelanggaran terhadap peraturan pondok, maka Satpam hanya berwenang untuk menangkap dan membawa santri tersebut kepada Dewan Pembina Santri (DPS). DPS berwenang menentukan sanksi yang akan diterima oleh santri tersebut sesuai dengan pelanggaran yang dilakukannya. Selain satpam, setiap wali asrama dan kakak kelas (pendamping wali asrama) juga bertugas untuk mengontrol santrinya masing-masing.
Agak berbeda pengawasan yang dilakukan di Ponpes Thawalib. Sekuriti (Satpam) juga tidak diberi kewenangan untuk memberikan hukuman terhadap anak, apabila Satpam menemukan pelanggaran melaporkan ke koordinator asrama atau kepada wakil kesiswaan. Siapa yang akan menindak terhadap pelanggaran yang berat tergantung pada waktu pelanggaran terjadi dan bidang pelanggaran. Kalau menyangkut pelanggaran terhadap proses belajar mengajar (PBM) dan terjadi pada pukul 7 sampai 14.00 maka kewenangan menindak ada pada kepala sekolah. Sedangkan pelanggaran diluar PBM dan terjadi pukul 14.00 sampai masuk sekolah kewenangan menindak ada pada kepala asrama.
Disamping kepala sekolah dan kepala asrama, pengawasan juga dilakukan oleh badan pengawas yang merupakan organ yayasan, wali klas, waka kesiswaan. Peranan pengawas sekolah yang diangkat oleh pengurus yayasan sangat penting dalam mengawasi sekolah baik proses belajar mengajarnya maupun kondisi fisik sekolah. Proses pengawasan dilakukan secara berjenjang, jika ada anak yang bermasalah, pertama wali kelas yang bertanggung jawab. Kalau tidak selesai diproses oleh wali kelas, lalu naik ke tingkat kesiswaan, kalau persoalanya masih tidak dapat diselesaikan dilaporkan ke kepala sekolah. Kepala sekolah akan melaporkan ke pengawas dan ke pimpinan perguruan, apabila tidak dapat menyelesaikan. Putusan terakhir terhadap masalah siswa berada di tangan pengurus yayasan tersebut.
Pelaksanaan hukuman terhadap siswa memerlukan sistem pengawasan yang ketat agar dilaksanakan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Oleh karena itu harus ada pengawasan terhadap para eksekutor agar sanksi yang diberikan tidak melampaui batas-batas yang telah diatur dalam peraturan sekolah. Disamping itu, para senior yang ditugaskan untuk mengawasi yuniornya juga harus diberi penjelasan agar tidak menyalahgunakan kewenanganya diluar ketentuan yang berlaku, karena pelaku tindak kekerasan yang banyak terjadi di lingkungan pondok salah satunya terbanyak dilakukan oleh senior.
4.2.4. Sosialisasi Peraturan dan Undang-Undang tentang Perlindungan Anak.
Peraturan sekolah yang berlaku untuk mengatur perilaku anak selama mengikuti pendidikan pada umumnya sudah disosialisasikan dengan baik melalui berbagai forum yang ada disekolah (kuliah tuju menit (kultum), apel pagi, upacara bendera). Disamping itu juga dipublikasikan melalui papan-papan pengumuman dan buku/buklet yang dibagikan kepada pada siswa dan orangtua siswa. Secara lisan sosialisasi dilakukan hampir setiap hari pada saat apel pagi dan secara tertulis dengan membagikan lembaran tata tertib kepada para santri atau menempelkan tata tertib peraturan sekolah tersebut di papan pengumuman.
Forum kuliah tuju menit (kultum) yang diadakan setiap habis mengerjakan sholat wajib merupakan ajang yang banyak digunakan oleh sekolah menyampaikan peraturan sekolah atau sanksi-sanksi yang dapat diberikan terhadap siswa yang melanggar peraturan sekolah tersebut. Disamping forum kultum, pada saat apel pagi dan upacara bendera juga digunakan oleh kepala sekolah dan guru untuk menyampaikan aturan-aturan sekolah. Tata tertib pondok, seperti rutinitas para santri setiap hari, peraturan menyangkut etika pergaulan, peraturan izin keluar pondok, merupakan contoh berbagai peraturan yang diberikan saat apel pagi kepada semua peserta apel pagi.
Akan tetapi peraturan mengenai perlindungan anak dari tindak kekerasan yang sudah diberlakukan sejak tahun 2003 dan peraturan lain yang berkaitan dengan hal tersebut masih belum banyak disosialisasikan baik terhadap siswa, guru atau pengurus sekolah maupun yayasan. Forum-forum yang ada belum banyak menyinggung soal kekerasan terhadap anak dan digunakan untuk meningkatkan pemahaman mengenai tindak kekerasan terhadap anak sehingga pengetahuan para pendidik mengenai hal tersebut masih belum memadai.
Berdasarkan hasil wawancara dengan berbagai informan baik guru, pembina sekolah, pimpinan sekolah, dan pengurus pondok memperlihatkan bahwa pengetahuan para informan terhadap undang-undang tentang perlindungan anak masih kurang memadai. Para pendidik masih belum banyak yang dapat menyebutkan undang-undang yang mengatur mengenai perlindungan anak dan mengenai hak-hak anak. Justru para siswa yang lebih banyak mengetahui mengenai hak-hak anak yang harus dipenuhi dalam rangka tumbuh kembang dan perlindungan anak. Pada umumnya para pendidik sudah mengetahui adanya undang-undang tersebut dan menyetujui bahwa anak-anak perlu dilindungi. Undang-undang perlindungan anak dianggap perlu untuk melindungi anak dari tindak kekerasan.
Kondisi ini perlu lebih mendapat perhatian oleh pendidik dan pengurus sekolah maupun pihak yayasan. Pengetahuan mengenai hak-hak anak yang terkandung dalam undang-undang perlindungan anak perlu lebih disosialisasikan kepada para siswa, guru, dan pengurus yayasan untuk memberikan persamaan persepsi mengenai hukuman yang mendidik bagi para siswa. Pemahaman yang baik dan persepsi yang sama terhadap bentuk-bentuk kekerasan yang tidak boleh dilakukan terhadap siswa akan dapat mencegah terjadinya tindak kekerasan terhadap anak.
Perbedaan interpretasi dan persepsi mengenai tindak kekerasan terhadap anak sebagai bentuk hukuman mendidik akan dapat diatasi dengan pemahaman yang baik mengenai undang-undang tersebut. Melalui pemahamanan terhadap undang-undang akan dapat ditetapkan batas-batas mana yang menurut agama dibolehkan untuk menggunakan kekerasan fisik dan batas-batas mana yang tidak boleh menggunakanya sehingga agama tidak lagi digunakan untuk melgitimasi tindak kekerasan melebihi porsi yang dibolehkan oleh agama itu sendiri. Melalui sosialisasi terhadap undang-undang perlindungan anak dapat dilakukan kompromi atau kesepakatan mengenai batas-batas tersebut apabila memang menurut para ustad hukuman fisik masih tetap diperlukan.
4.2.5. Resosialisasi Pelaku Tindak Kekerasan
Usaha untuk mengatasi masalah tindak kekerasan terhadap anak dapat dilakukan dengan meresosialisasi pelaku tindak kekerasan tersebut dengan nilai-nilai yang anti kekerasa terhadap anak. Para aktor pelaku tindak kekerasan diberikan pemahaman kembali dengan nilai-nilai tersebut agar menyadari bahwa tindakanya menyalahi aturan yang telah ditetapkan. Sekolah/pondok pada umumnya memiliki lembaga Bimbingan Konseling (BK), yang berfungsi sebagai lembaga konsultasi bagi anak-anak yang mengalami masalah di sekolah. Melalui lembaga tersebut, resosialisasi nilai-nilai anti kekerasan terhadap aktor pelaku tindak kekerasan terhadap anak dapat dilakukan. Disamping itu jika ada santri yang mengalami tindak kekerasan maka santri tersebut dapat dibawa ke BK untuk dapat berkonsultasi dengan guru BK. Guru BK diharapkan dapat berusaha untuk mencari tahu permasalahan yang terjadi serta mencari solusinya.
Lembaga BK meskipun secara formal ada pada setiap ponpes/sekolah akan tetapi masih belum berfungsi dan dimanfaatkan secara maksimal oleh para siswa maupun guru-guru untuk mengatasi masalah tindak kekerasan terhadap anak. Hal ini disebabkan karena para guru yang bertugas di bagian BK masih belum mempunyai latar belakang pendidikan yang memadai untuk memberikan konsultasi bagi anak-anak yang bermasalah (aktor pelaku tindak kekerasan) atau korban tindak kekerasan sehingga pelayanan yang diberikan juga tidak maksimal. Kebanyakan para guru BK bukan berasal dari pendidikan BK sehingga kemampuan untuk memberikan konsultasi hanya berdasarkan pengalamanya saja. Mereka adalah guru pemegang matapelajaran lain yang diberi tugas tambahan sebagai guru BK. Di pondok pesantren Muhammad Natsir, mislanya guru BK dirangkap oleh Kepala Sekolah yang berlatar belakang pendidikam Matematika. Kondisi tersebut dapat menyebabkan usaha mengatasi tindak kekerasan tidak maksimal dilakukan.
Resource :
PENGKAJIAN KESEJAHTERAAN DAN PERLINDUNGAN ANAK
(STUDI TENTANG KEKERASAN TERHADAP ANAK DI LINGKUNGAN PONDOK PESANTREN MODERN PROVINSI SUMATERA BARAT)
Oleh:
Tim Peneliti
Drs. Wahyu Pramono, MSi Prof. Dra. Sjahridal Dahlan, MS Prof. Dr. Hj. Siti Salmah Indraddin, S.Sos, MSi
PUSAT STUDI WANITA (PSW) UNIVERSITAS ANDALAS
Bekerjasama dengan Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Propinsi Sumatera Barat Tahun 2009
http://repository.unand.ac.id/2305/1/Makalah_Seminar_Hasil_Penelt__Kekerasan_Anak.doc
0 Komentar
Harap jangan berkomentar yang bersifat spam, yang berbau sara, kata-kata kotor, atau yang bersifat nada keras atau komentar Anda akan kami HAPUS.