FAKTA 1: Pemerintah Indonesia sejak kemerdekaannya pada tahun 1945 terus mengembangkan system pendidikannya, dan wajib belajar 9 tahun1 dicanangkan sebagai kebijakan nasional pada tahun 1994.
FAKTA 2: Hampir semua anak, baik laki-laki maupun perempuan, masuk sekolah dasar (SD), dan Angka Partisipasi Murni (APM)2 mencapai 93 persen pada tahun 2002, dan belum terlihat jelas adanya kesenjangan jender.
FAKTA 3: Di tingkat sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP), APM turun menjadi 61,6 persen, dan rasio untuk anak perempuan sedikit lebih tinggi (62,4 persen) daripada untuk anak laki-laki (60,9 persen).
FAKTA 4: Anak yang tinggal di daerah perkotaan (71,9 persen) lebih banyak yang belajar di SLTP dibandingkan dengan yang tinggal di daerah pedesaan (54,1 persen).
FAKTA 5: Jika dilihat dari pendapatan keluarga, jumlah anak bersekolah dari setiap kelompok keluarga terpaut jauh. Penduduk dengan pendapatan terendah yang jumlahnya 20 persen dari seluruh penduduk memiliki APM yang jauh lebih rendah (49,9 persen) dibandingkan dengan 20 persen penduduk berpendapatan tertinggi (72,2 persen).
FAKTA 6: Data Departemen Pendidikan memperlihatkan adanya kesenjangan jender yang signifikan antara jumlah anak laki-laki dan anak perempuan yang putus sekolah di tingkat SD maupun SLTP.3 Kemungkinan anak perempuan untuk putus sekolah lebih besar dibandingkan anak laki-laki. Di SD, dari 10 anak yang putus sekolah, 6 di antaranya anak perempuan dan 4 lainnya anak laki-laki. Demikian halnya di SLTP. Kesenjangan gender antara murid laki-laki dan perempuan yang putus sekolah sedikit lebih tinggi di sekolah lanjutan atas, yaitu 7 anak perempuan dibandingkan 3 anak laki-laki (Departemen Pendidikan Nasional, 2002).
FAKTA 7: Sekitar 1,8 juta anak SD berusia 7 – 12 tahun, dan 4,8 juta anak usia 13 – 15 tahun, tidak bersekolah (SUSENAS, 2002).
FAKTA 8: Dari data angka pindah sekolah bisa dilihat bahwa anak laki-laki maupun perempuan sama-sama berpeluang meneruskan pendidikan mereka dari SD ke SLTP. Jumlah anak laki-laki yang melanjutkan dari SD ke SLTP (83 persen) sedikit lebih tinggi - meskipun tidak mencolok - dibandingkan anak perempuan (81 persen). Perbedaan jumlah anak laki-laki dan perempuan yang meneruskan pendidikan ke tingkat selanjutnya, yaitu dari SLTP ke sekolah menengah umum (SMU), sedikit lebih besar – walaupun tetap tidak signifikan (73 persen untuk anak laki-laki dan 69 persen untuk anak perempuan).
FAKTA 9: Jumlah mereka di kelompok usia 15 – 24 tahun yang bisa baca-tulis selama sepuluh tahun terakhir masih tetap tinggi: 96,6 persen pada tahun 1992 dan 98,8 persen pada 2002. Perbedaan angka pria dan wanita yang bisa membaca dan menulis seperti yang terlihat dalam indeks kesetaraan jender (gender parity index) sebesar 97,9 persen pada tahun 1992 dan 99,8 persen pada tahun 2002.
FAKTA 10: Sebanyak 85% anak perempuan di Indonesia yang berusia 15 – 19 tahun mempunyai paling sedikit satu pandangan yang salah tentang HIV/AIDS atau tidak pernah mendengar istilah AIDS.
KENDALA
Meskipun bisa kita lihat bahwa peluang anak-anak untuk memperoleh pendidikan menjadi semakin terbatas begitu mereka menapak ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, secara keseluruhan Indonesia sudah mencapai kemajuan yang berarti dalam hal kesetaraan jender APM di tingkat SD dan SLTP. Apakah ini berarti bahwa tidak ada masalah jender yang serius dalam bidang pendidikan di Indonesia? Justru sebaliknya, persoalan jender yang tidak begitu nampak, lebih rumit dan tetap ada – mungkin lebih sulit diatasi– terus melanda Indonesia. Persoalan yang lebih pelik ini menjadi penghalang bagi Indonesia untuk menerapkan kesetaraan jender dalam bidang pendidikan. Kendala yang dimaksud antara lain :
− Buku pelajaran yang bias gender dan kuat kesan stereotip jendernya masih banyak dipakai di sekolah-sekolah. Hasil analisa Isi buku pelajaran yang digunakan di SD menunjukkan bahwa ilustrasi di dalam buku pelajaran lebih banyak menonjolkan anak laki-laki daripada anak perempuan. Anak laki-laki yang digambarkan juga lebih beragam dan kreatif perannya dibandingkan anak perempuan. Selain itu, laki-laki lebih banyak disebut di dalam buku-buku dibandingkan perempuan terkemuka.
− Stereotip gender masih terus ada dan ini terefleksikan melalui cara siswa memilih spesialisasi di sekolah kejuruan dan universitas, dimana tampak adanya semacam "diskriminasi yang dilakukan secara sadar" oleh anak perempuan maupun laki-laki. Ilmu sosial umumnya banyak diambil oleh siswa perempuan sedangkan bidang teknologi banyak dipelajari oleh siswa laki-laki.
− Meskipun sudah ada kebijakan nasional untuk mengedepankan kesetaraan pria dan wanita, belum ada cukup banyak program yang dijalankan untuk mengatasi masalah ketidaksetaraan di bidang pendidikan dengan memberikan peluang dan mengikutsertakan anak-anak yang kurang beruntung, termasuk anak-anak perempuan dari keluarga yang miskin dan marginal.
− Pemahaman dan keahlian di bidang gender tetap buruk meskipun ada mandat untuk menjunjung tinggi kesetaraan laki-laki dan perempuan – hal ini sedikit banyak disebabkan oleh persoalan yang lebih pelik, yaitu konsep jender tidak dikaitkan dan disesuaikan dengan kepercayaan dan tradisi sosial-budaya serta agama di Indonesia sehingga masalah jender selama ini menjadi sesuatu yang sulit dipahami masyarakat.
− Pernikahan dini menjadi salah satu persoalan penting yang ditemui di daerah-daerah tertentu di Indonesia (contohnya Indramayu, Jawa Barat) karena akan membuat anak perempuan tidak bisa mengenyam pendidikan.
− Data pemerintah pusat dan daerah berdasarkan jenis kelamin tidak memadai sehingga sektor pendidikan mengalami kesulitan untuk menilai kemajuan diluar jumlah anak yang sekolah dan turut berpartisipasi dalam proses belajar. Data berdasarkan jenis kelamin kebanyakan dipakai untuk membuat laporan tentang komitmen Indonesia di dunia internasional, namun jarang dimanfaatkan pemerintah dalam menyusun kebijakan dan perencanaan proyek.
TINDAKAN YANG DIAMBIL PEMERINTAH
Seperti yang diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia dan juga sebagai bagian dari komitmen globalnya terhadap Konvensi Hak Anak (KHA), Konvensi tentang Penghapusan Segala bentuk Diskiriminasi terhadap Perempuan (CEDAW), Pendidikan untuk Semua (EFA) serta Tujuan Pembangunan Milenium (MDG), Pemerintah Indonesia saat ini menjalankan kebijakan dan strategi pendidikan dasar di bawah ini:
Strategi pelaksanaan untuk kebijakan umum serta kebijakan khusus jender di atas antara lain adalah:
FAKTA 2: Hampir semua anak, baik laki-laki maupun perempuan, masuk sekolah dasar (SD), dan Angka Partisipasi Murni (APM)2 mencapai 93 persen pada tahun 2002, dan belum terlihat jelas adanya kesenjangan jender.
FAKTA 3: Di tingkat sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP), APM turun menjadi 61,6 persen, dan rasio untuk anak perempuan sedikit lebih tinggi (62,4 persen) daripada untuk anak laki-laki (60,9 persen).
FAKTA 4: Anak yang tinggal di daerah perkotaan (71,9 persen) lebih banyak yang belajar di SLTP dibandingkan dengan yang tinggal di daerah pedesaan (54,1 persen).
FAKTA 5: Jika dilihat dari pendapatan keluarga, jumlah anak bersekolah dari setiap kelompok keluarga terpaut jauh. Penduduk dengan pendapatan terendah yang jumlahnya 20 persen dari seluruh penduduk memiliki APM yang jauh lebih rendah (49,9 persen) dibandingkan dengan 20 persen penduduk berpendapatan tertinggi (72,2 persen).
FAKTA 6: Data Departemen Pendidikan memperlihatkan adanya kesenjangan jender yang signifikan antara jumlah anak laki-laki dan anak perempuan yang putus sekolah di tingkat SD maupun SLTP.3 Kemungkinan anak perempuan untuk putus sekolah lebih besar dibandingkan anak laki-laki. Di SD, dari 10 anak yang putus sekolah, 6 di antaranya anak perempuan dan 4 lainnya anak laki-laki. Demikian halnya di SLTP. Kesenjangan gender antara murid laki-laki dan perempuan yang putus sekolah sedikit lebih tinggi di sekolah lanjutan atas, yaitu 7 anak perempuan dibandingkan 3 anak laki-laki (Departemen Pendidikan Nasional, 2002).
FAKTA 7: Sekitar 1,8 juta anak SD berusia 7 – 12 tahun, dan 4,8 juta anak usia 13 – 15 tahun, tidak bersekolah (SUSENAS, 2002).
FAKTA 8: Dari data angka pindah sekolah bisa dilihat bahwa anak laki-laki maupun perempuan sama-sama berpeluang meneruskan pendidikan mereka dari SD ke SLTP. Jumlah anak laki-laki yang melanjutkan dari SD ke SLTP (83 persen) sedikit lebih tinggi - meskipun tidak mencolok - dibandingkan anak perempuan (81 persen). Perbedaan jumlah anak laki-laki dan perempuan yang meneruskan pendidikan ke tingkat selanjutnya, yaitu dari SLTP ke sekolah menengah umum (SMU), sedikit lebih besar – walaupun tetap tidak signifikan (73 persen untuk anak laki-laki dan 69 persen untuk anak perempuan).
FAKTA 9: Jumlah mereka di kelompok usia 15 – 24 tahun yang bisa baca-tulis selama sepuluh tahun terakhir masih tetap tinggi: 96,6 persen pada tahun 1992 dan 98,8 persen pada 2002. Perbedaan angka pria dan wanita yang bisa membaca dan menulis seperti yang terlihat dalam indeks kesetaraan jender (gender parity index) sebesar 97,9 persen pada tahun 1992 dan 99,8 persen pada tahun 2002.
FAKTA 10: Sebanyak 85% anak perempuan di Indonesia yang berusia 15 – 19 tahun mempunyai paling sedikit satu pandangan yang salah tentang HIV/AIDS atau tidak pernah mendengar istilah AIDS.
(KLIK Gambar Untuk Memperbesarnya)
KENDALA
Meskipun bisa kita lihat bahwa peluang anak-anak untuk memperoleh pendidikan menjadi semakin terbatas begitu mereka menapak ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, secara keseluruhan Indonesia sudah mencapai kemajuan yang berarti dalam hal kesetaraan jender APM di tingkat SD dan SLTP. Apakah ini berarti bahwa tidak ada masalah jender yang serius dalam bidang pendidikan di Indonesia? Justru sebaliknya, persoalan jender yang tidak begitu nampak, lebih rumit dan tetap ada – mungkin lebih sulit diatasi– terus melanda Indonesia. Persoalan yang lebih pelik ini menjadi penghalang bagi Indonesia untuk menerapkan kesetaraan jender dalam bidang pendidikan. Kendala yang dimaksud antara lain :
− Buku pelajaran yang bias gender dan kuat kesan stereotip jendernya masih banyak dipakai di sekolah-sekolah. Hasil analisa Isi buku pelajaran yang digunakan di SD menunjukkan bahwa ilustrasi di dalam buku pelajaran lebih banyak menonjolkan anak laki-laki daripada anak perempuan. Anak laki-laki yang digambarkan juga lebih beragam dan kreatif perannya dibandingkan anak perempuan. Selain itu, laki-laki lebih banyak disebut di dalam buku-buku dibandingkan perempuan terkemuka.
− Stereotip gender masih terus ada dan ini terefleksikan melalui cara siswa memilih spesialisasi di sekolah kejuruan dan universitas, dimana tampak adanya semacam "diskriminasi yang dilakukan secara sadar" oleh anak perempuan maupun laki-laki. Ilmu sosial umumnya banyak diambil oleh siswa perempuan sedangkan bidang teknologi banyak dipelajari oleh siswa laki-laki.
− Meskipun sudah ada kebijakan nasional untuk mengedepankan kesetaraan pria dan wanita, belum ada cukup banyak program yang dijalankan untuk mengatasi masalah ketidaksetaraan di bidang pendidikan dengan memberikan peluang dan mengikutsertakan anak-anak yang kurang beruntung, termasuk anak-anak perempuan dari keluarga yang miskin dan marginal.
− Pemahaman dan keahlian di bidang gender tetap buruk meskipun ada mandat untuk menjunjung tinggi kesetaraan laki-laki dan perempuan – hal ini sedikit banyak disebabkan oleh persoalan yang lebih pelik, yaitu konsep jender tidak dikaitkan dan disesuaikan dengan kepercayaan dan tradisi sosial-budaya serta agama di Indonesia sehingga masalah jender selama ini menjadi sesuatu yang sulit dipahami masyarakat.
− Pernikahan dini menjadi salah satu persoalan penting yang ditemui di daerah-daerah tertentu di Indonesia (contohnya Indramayu, Jawa Barat) karena akan membuat anak perempuan tidak bisa mengenyam pendidikan.
− Data pemerintah pusat dan daerah berdasarkan jenis kelamin tidak memadai sehingga sektor pendidikan mengalami kesulitan untuk menilai kemajuan diluar jumlah anak yang sekolah dan turut berpartisipasi dalam proses belajar. Data berdasarkan jenis kelamin kebanyakan dipakai untuk membuat laporan tentang komitmen Indonesia di dunia internasional, namun jarang dimanfaatkan pemerintah dalam menyusun kebijakan dan perencanaan proyek.
TINDAKAN YANG DIAMBIL PEMERINTAH
Seperti yang diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia dan juga sebagai bagian dari komitmen globalnya terhadap Konvensi Hak Anak (KHA), Konvensi tentang Penghapusan Segala bentuk Diskiriminasi terhadap Perempuan (CEDAW), Pendidikan untuk Semua (EFA) serta Tujuan Pembangunan Milenium (MDG), Pemerintah Indonesia saat ini menjalankan kebijakan dan strategi pendidikan dasar di bawah ini:
- Kebijakan umum untuk meningkatkan mutu pendidikan dasar
- Meningkatkan peluang bersekolah dan memperluas kesempatan belajar bagi semua anak usia sekolah, terutama bagi masyarakat miskin dan terpencil dengan akses sulit terjangkau.
- Meningkatkan kualitas dan nilai pendidikan dasar sehingga semua anak yang sudah
- menyelesaikannya akan memiliki kemampuan dasar untuk hidup atau untuk melanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi.
- Meningkatkan efisiensi manajemen sumber daya pendidikan dan membantu semua institusi pendidikan dasar untuk bisa menjalankan fungsinya dengan lebih efisien dan efektif.
- Mengupayakan agar lebih banyak anak yang bisa mengenyam pendidikan dasar, bersama dengan peningkatan mutu pendidikan dasar. Hal ini karena menyelesaikan pendidikan dasar berkaitan erat dengan upaya perbaikan kualitas.
- Kebijakan khusus untuk meningkatkan kesetaraan gender di bidang pendidikan mengenyam pendidikan yang berkualitas dan peka terhadap masalah jender; memperkecil jumlah penduduk usia dewasa yang buta aksara – terutama perempuan – dengan memperbaiki kinerja dalam pendidikan formal dan non-formal, program penyetaraan serta program pemberantasan buta huruf; dan yang peka terhadap masalah jender.
Strategi pelaksanaan untuk kebijakan umum serta kebijakan khusus jender di atas antara lain adalah:
- Membuat gerakan nasional menyelesaikan pendidikan dasar dengan melibatkan sektor industri.
- Meningkatkan program untuk menambah jumlah anak yang sekolah sambil mengevaluasi kembali program mana yang tidak begitu penting, serta mengerahkan sumber daya agar Program Pendidikan Dasar bisa bertahan dan menjadi lebih baik.
- Memberikan lebih banyak kesempatan kepada sekolah swasta dan lembaga pendidikan yang diselenggarakan masyarakat untuk lebih banyak berperan serta menyelenggarakan pendidikan dasar.
- Memanfaatkan metode dan program pendidikan alternatif agar masyarakat miskin dan terpencil yang sebelumnya tidak terjangkau bisa menikmati pendidikan, dan mengusahakan agar semua bisa mendapat kesempatan yang sama untuk mengenyam pendidikan dasar.
- Memberikan wewenang dan tanggung jawab penuh kepada pemerintah kabupaten dan kota untuk melaksanakan Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 tahun di daerah sehingga mereka dapat mempertimbangkan potensi dan kendala yang ada di daerah, dengan bantuan pemerintah pusat dan propinsi.
- Memberikan peluang yang setara kepada anak laki-laki dan perempuan untuk dan non-formal.
- Memberikan peluang untuk mengikuti program penyamaan kepada penduduk usia
- Memberikan kesempatan mengikuti program pemberantasan buta huruf, khususnya kepada kaum perempuan.
- Meningkatkan koordinasi, informasi dan pendidikan dalam upaya membina pendidikan yang peka terhadap masalah jender.
- Mengembangkan institusi untuk pendidikan peka terhadap masalah jender di tingkat pusat maupun propinsi.
0 Komentar
Harap jangan berkomentar yang bersifat spam, yang berbau sara, kata-kata kotor, atau yang bersifat nada keras atau komentar Anda akan kami HAPUS.